Minggu, 20 November 2011

Dua Tirai

Syekh Ibnu Athoillah as-Sakandary.
“Tirai itu terbagi dua; Tirai dari maksiat, dan
tirai di dalam maksiat. Umumnya orang
mencari tirai dari Allah Ta’ala, agar tertirai
di dalam
maksiat, karena takut martabatnya jatuh di
mata publik. Sedangkan kalangan khusus
mencari tirai dari maksiat, karena takut bila
gugur dari pandangan Sang Maha Diraja Al-
Haq.”
Orang yang bermaksiat kebanyakan ingin
tertutup dari makhluk, bisa karena malu, atau
karena gengsi ataupun karena takut harga
dirinya jatuh. Tirai atau tutup itu disebut
sebagai tutup di “dalam maksiat”. Bagi
kalangan ini, tutup di dalam maksiat berarti
tidak memandang Allah swt, namun lebih
memandang kepentingan derajat makhluk atau
harga diri kemakhlukan.
Disinilah orang yang maksiat ini tidak
memandang celaan dari Allah Ta’ala – awal
hingga akhirnya – dan menumbuhkan riya’,
berbagus diri di hadapan makhluk, bukan di
hadapan Allah Ta’ala. Hal demikian disebabkan
oleh pendeknya himmah mereka dan minimnya
iman mereka.
Sedangkan kalangan khusus, sejak awal justru
lari dari maksiat, kalau toh pun mereka
mencari tirai, itu karena dalam proses
perjalanannya, ingin sekali terhindar dari
maksiat. Dalam konteks inilah disebut mencari
“tutup dari maksiat”. Mereka bermotivasi
agar terhindar dari maksiat, ada beberapa
kategori:
1. Bisa mencari tutup karena takut akan
siksaNya.
2. Bisa mencari tutup karena takut akan
hijabNya. Dan,
3. Bisa karena takut akan kehilangan pahala
dariNya.
Ada pula mencari tirai karena khawatir
terlempar dari pintuNya; atau dari sisiNya, dan
sebagainya, dan semua itu kembali karena
ketakutan kalangan khusus ini jika tidak
dipandang lagi oleh Allah Ta’ala. Karena
mereka bisa kehilangan banyak kebajikan,
sekaligus banyak keburukan tiba.
Yang paling agung adalah mereka mencari tutup
dari maksiat karena rasa takut luar biasa akan
Kharisma Ilahi, karena rasa malu, rasa
mengagungkan kepadaNya. Bahkan seandainya
Allah Ta’ala mengampuni semua
dosa-dosanya sekalipun, rasa malunya kepada
Allah Ta’ala serasa tak pernah sirna.
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Fudhail bin
‘Iyadh ra, “Duh betapa malunya kepadaMu…
walau Engkau telah mengampuni…”

Bila saja faktor penghambat maksiat itu
justru dating karena tirai dari maksiat, maka
jika makhluk lain memuliakan anda, tetap saja
kembali pada TiraiNya, bukan pada diri anda,
baik anda orang yang taat maupun anda orang
yang maksiat. Makanya Ibnu Athaillah
mengingatkan:
“Siapa pun yang memuliakan anda ,
sesungguhnya ia telah memuliakan yang ada di
dalam dirimu berupa keindahan TiraiNya.
Karena itu pujian seharusnya kepada yang
menutupi anda, dan pujian bukan pada orang
yang memuliakan anda atau bukan kepada yang
mengucapkan terimakasih kepada anda.”
Banyak orang balik memuji orang yang memuji
anda atau berterimakasih pada anda. Padahal
seharusnya pujian itu kepada yang menutupi
aib dan kekuarangan anda, yaitu Allah Rabbul
Izzah Ta’ala. Karena tanpa tirai tutupnya
yang indah pada anda, tak satu pun menghargai
dan mengormati anda.
<# Karena itu ada pepatah Sufi yang indah: “Di sana tak ada lain kecuali karena karuniaNya, dan tak ada kehidupan melainkan karena ada dalam tiraiNya. Jika saja tirai itu dibuka, pastilah terbuka cacat besar yang tiada tara.”
Manusia itu, pada aslinya adalah tempatnya
kurang dan cacat. Baik orang tersebut ahli
ibadah maupun ahli maksiat. Baik orang itu
sedang mendapatkan nikmat atau cobaan.
Maka kita wajib memuji Allah swt, yang
menutupi diri kita dengan tutupNya yang indah
itu.

sumber: sufinews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar