Minggu, 20 November 2011

Nafsu Nyata Nafsu Tersembunyi

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Bagian nafsu dalam kemaksiatan itu jelas
nyata. Sedangkan bagian nafsu di dalam ta’at,
itu tersembunyi dan tidak nyata. Mengobati
yang tersembunyi itu sangat sulit terapinya.”
Bahwa nafsu itu memiliki kecenderungan
maksiat dan melakukan tindak maksiat itu
sangat nyata dan jelas, karena naluri nafsu
memang demikian. Namun ketika nafsu
menyelinap di balik aktivitas taat, kebajikan,
amaliah, sangat tersembunyi. Alur nafsu dalam
konteks ini memiliki tiga karakter:
Takut pada sesama makhluk,
Ambisi rizki,
Rela pada kemauan nafsu itu sendiri.
Munculnya ketiga karakter itu bersamaan
dengan selera nafsu.
Sedangkan perselingkuhan nafsu dibalik taat
dan ibadah kita begitu tersembunyi. Tiba-tiba
ia merasa lebih tinggi dibanding orang lain,
lebih suci, kemudian muncul rekayasa untuk
manipulasi, dengan tujuan tertentu atau
imbalan tertentu, yang menyebabkan riya’.
Mari kita bertanya pada diri sendiri dibalik
nafsu yang tersembunyi ini. Apakah ketika kita
beribadah, melakukan aktivitas kebajikan dan
amaliyah lainnya, agar kita disebut berperan?
Agar disebut lebih dibanding yang lain?
Mendapat pujian dan kehormatan orang lain?
Anda sendiri dan orang-orang sholeh yang
memiliki matahatilah yang mengenal karakter
itu.
Karena itu nafsu sering bersembunyi dibalik
bendera agama, dibalik aktivitas ibadah dan
gerakan massa keagamaan, bahkan nafsu
merangsek ornamen penampilan orang-orang
saleh, agar disebut saleh.
Disnilah Ibnu Athaillah juga mengingatkan
berikutnya: “Kadang-kadang riya’ itu
masuk padamu, ketika orang lain tidak
memandangmu.”
Kenapa demikian? Karena riya’ itu bertumpu
pada pandangan makhluk. Ketika anda
bersembunyi atau makhluk lain tidak mengenal
anda, lalu anda diam-diam merasa ikhlas,
karena makhluk lain tidak melihatmu, itu pun
disebut riya’. Sebab unsur makhluk masih
tersisa di hatimu.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh, ra, menegaskan,
“Beramal demi pandangan manusia itu adalah
syirik. Sedangkan tidak melakukan amaliah
karena agar dipandang manusia, adalah riya’.
Meninggalkan amal demi manusia adalah syirik.
Ikhlas, adalah Allah jika anda diampuni (lalu
meninggalkan) kedua faktor di atas.”
Ketika seseorang berlaku riya’, dalam kondisi
khalwat, secara diam-diam pula ia ingin
disebut lebih utama dibanding yang lain. “Wah
saya sudah suluk, saya sudah baiat, saya sudah
khalwat… Sedangkan kalian kan belum… Jelas
saya lebih baik dibanding anda…”. Bisikan
lembut ini adalah bentuk ketakaburan dan
riya’.
Inilah mengapa Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Upayamu untuk meraih kemuliaan agar
makhluk mengetahui keistemewaanmu,
menunjukkan bahwa ubudiyahmu sama sekali
tidak benar.”
Karena, menurut Syeikh Zarruq, ra, manakala
anda benar dalam ubudiyah pada Tuhanmu, pasti
anda tidak senang jika yang lainNya tahu
amalmu.
Sebagian Sufi mengatakan, “Tak seorang pun
benar pada Allah Swt, sama sekali, kecuali jika
ia senang bila cintanya tidak dikenal oleh yang
lain.”
Ahmad bin Abul Hawary ra, mengatakan,
“Siapa pun bila senang kebaikannya dipandang
orang lain atau disebut-sebut, ia benar-benar
musyrik dalam ibadahnya. Karena orang yang
berbakti pada cinta, tidak senang bila baktinya
dipandang oleh selain yang dijabdi.”
Sahl bin Abdullah ra, mengatakan, “Siapa yang
senang pamer amalnya pada orang lain ia telah
riya’. Dan siapa yang ingin dikenal kondisi
ruhaninya oleh orang lain, ia adalah
pendusta.”
Ibrahim bin Adham nengatakan, “Tidak benar
bagi Allah orang yang senang dengan
keterkenalan (popularitas).”
Dan menghapus riya’ dan membersihkannya,
sudah seharusnya dilakukan dengan memandang
kepada Allah Swt dan menolak selain DiriNya.

sumber: sufinews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar