Minggu, 20 November 2011

Karomah Bukan Derajat Luhur

“Tidak setiap orang yang memiliki
keistemewaan itu sempurna kebersihan batin
dan keikhlasannya.”
Saat ini publik ummat sering menilai derajat
luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan
ilmu dan karomahnya. Syeikh Abu Yazid al-
Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang
melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.
“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu
cukup lama…”
“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang
seharian…karena kondisinya memang
demikian,” jawabnya.
“Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa
mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh
Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang
ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah
dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja
tidak dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu
pentetahuan, mampu membaca dan mengenal
dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki
keistemewaan, tetapi banyak pula diantara
mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam
ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda
yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin
Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya,
“Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu
semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku
orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk
merubah dari perilakunya yang tercela menjadi
perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding
orang yang punya karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan, “Yang
mengagumkan bukannya orang yang
memasukkan tangan ke kantong sakunya, lalu
menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang
mengagumkan adalah orang yang memasukkan
tangannya ke kantong sakunya karena merasa
ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia
masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu
tidak ada, namun dirinya tidak berubah
(terkejut) sama sekali.”
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara
Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi
karomah agar perjalanan ruhaninya tidak
berhenti, sehingga semakin menajak, semakin
naik, bukan untuk menunjukkan
keistemewaanya.
Yang istimewaan adalah Istiqomah. Karena itu
para Sufi menegaskan, “Jangan mencari
karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab
istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu
karomah. Dan memang, hakikat kartomah
adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd
al-Baghdady pernah mengi-ngatkan, betapa
banyak para Wali yang terpleset derajatnya
hanya karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah
mengatakan, ketika anda diludahi seseorang
dan anda sama sekali tidak marah, itulah
karomah, yang lebih hebat dibanding karomah
yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat
Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan
langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan
itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang
diantara mereka menegur,
“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang
anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi
percuma sampean bicara sampah di sini…”
Ada seseorang disebut-sebut sebagai
Wali:
“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang,
dan kejadian-kejadian yang pernah kita
lakukan walau pun sudah bertahun-tahun
lamanya…”
“Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa
diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian
yang lalu maupun yang akan datang… Jadi
hati-hati…”
“Beliau itu keturunan seorang Ulama
besar..”
“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur
di hadapan Allah…”
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan
kewalian ini, yang butuh ratusan halaman.
Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai
mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa
kehebatan itu menunjukkan derajat di depan
Allah. Tidak tentu sama sekali.

sumber: sufinews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar