Minggu, 20 November 2011

Respon Psikologi Terhadap Pujian

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
"Orang-orang zuhud ketika dipuji, mereka
sedih, karena melihat pujian itu datangnya dari
makhluk. Sedangkan orang-orang yang ’arif
billah ketika dipuji mereka bersukacita, sebab
pujian itu hakikatnya dari Allah Sang Maha
Diraja."
Para a’rifun menyaksikan perbuatan makhluk
itu dari segi wujud pemberlakukan Allah Swt.
pada mereka. Karena itulah sang arif
senantiasa melihat makhluk sebagai
“pena”-nya Allah Ta’ala. Maka bila
mereka dipuji, mereka bersukacita karena
yang dipandang adalah pujian Allah bukan
pujian makhluk, lalu semakin bertambah kuat
kebahagiaannya pada Tuhannya, tenteram
kepadaNya dan tetap lari dari segala hal selain
Dia.
Selain sang arif memandang pujian datang dari
makhluk itu sendiri, lalu ia menerima dan
menolak merutut persepktif kemakhlukan.
Pujian bila muncul, ia senang dan bila yang
muncul cacian ia sedih, maka disitulah pujian
menjadi bentuk penyembelihan atas dirinya.
Bila ia tergolong orang yang zuhud, ia
membenci pujian itu dan lebih senang dicaci.
Karena sang zahid masih juga emmandang itu
dari makghluk, dank arena kezuhudannya, ia
takut jika pujian meracuni hatinya. Hal ini
tentu berbeda dengan sang arif.
Bagi orang yang zuhud berlaku sabda Nabi
Saw.,
“Taburkan debu kemuka para pemuji”
“Pujian itu adalah bentuk penyembelihan (yang
mematikan).”
Beliau juga memperingatkan orang yang
memuji,
“Kalian memenggal leher sahabatmu?”
Bagi sang arif pujian dari makhluk tidak
pernah dilihat dari makhluk, tetapi dari Allah
Azza wa-Jalla, sebagaimana hadits Nabi Saw.,
“Bila Allah mencintai seorang hamba maka
Jibril diundang, dan berfirman, “Aku
mencintai si Fulan.” Lalu Jibril pun mencintai
si Fulan itu, lantas Jibril mengumumkan kepada
ahli langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si
Fulan!”. Ahli langit pun mencintai si Fulan
itu, baru kemudian penghuni bumi menerima.”
Ibnu Athaillah as-Sakandary ra lalu
meneruskan:
“Manakala anda dihamparkan anugerah
pemberian, anda sebutkan bahwa anda sedang
diberi. Jika anda terhalang dari pemberian anda
sebutkan sebagai kegagalan. Itu menunjukkan
betapa kekanak-kanakannya diri anda, dan
anda belum benar dalam menjalankan ubudiyah
anda.”
Hikmah di atas masih berkait denganm deretan
perilaku murid ketika merespon pemberian,
sukses, gagal Dan pujian serta cacian.
Bila seseorang masih menilai pemberian itu
Dari segi wujud nyata pemberian dan kegagalan
dinilai dari segi tidak tercapainya tujuan,
menunjukkan bahwa kehambaannya pada Allah
sangat minim.
Padahal semua itu sama-sama pemberian dari
Allah. Ada yang diberi dalam vbentuk sukses,
ada yang diberi dalam bentuk gagal. Ada yang
berbentuk pujian ada pula yang cacian.
Abu Utsman al-Hiiry menegaskan,
“Seseorang belum disebut sempurna manakala
empat hal ini belum sama di hatinya: Dalam
soal kegagagalan, dalam soal pemberian/
sukses, soal kemuliaan dan soal hinaan.”
Banyak orang yang mengukur pemberian dan
anugerah dari bentuk nyata benda, materi,
nama besar, popularitas, dan massa pendukung.
Seakan-akan jika ia meraih semua itu, ia telah
mendapatkan restu dari Allah Swt. Sebaliknya
yang gagal, kalah, tak meraih kesuksesan
materi dianggap tidak meraih ridhoNya. Inilah
salah kaprah yang berkembang di kalangan
ummat yang harus diluruskan.


sumber: sufinews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar