Minggu, 20 November 2011

Syeh Ibnu Athoillah As-Sakandary

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
"Manakala anda terjerumus dalam dosa,
janganlah kenyataan itu membuatmu putus asa
dalam meraih
Istiqomahmu dengan Tuhanmu. Kadang-kadang,
– siapa tahu – itulah akhir dosa yang
ditakdirkan oleh Allah padamu.”
Jadikan keterjerumusan itu sebagai pintu
taubat dan inabah demi beharap kepada Allah
Ta’ala, sekaligus sebagai pintu khauf (rasa
takut) kepadaNya. Sebab putus asa terhadap
rahmat Allah itu bentuk tipudaya yang gelap,
bahkan syetan harus berputus asa karena tidak
mampu memperdayai anda dibalik tindakan dosa
itu.
Imam Al-Ghazaly ra, menegaskan,
“Sebagaimana dosa merebut anda, dan
kembali kepada dosa sebagai aktivitas anda,
maka jadikanlah taubat dan kembali kepadaNya
sebagai aktivitas. Karena orang yang
beristighfar tidak akan mengulang-ulang
dosanya, walau ia mengulang tujuhpuluh kali
setiap harinya.”
Kita bisa mengambil pelajaran dari Fir’aun,
yang dosanya benar-benar memuncak dan
paling besar, toh Allah Ta’ala masih
memerintahkan kepada Nabi Musa as dan Nabi
Harun as, “Katakan padanya dengan kata-
kata yang lembut, siapa tahu ia bisa
tersadarkan atau ia memiliki rasa gentar dan
takut (Kepada Allah Swt).” (Thaha 44)
Betapa banyak orang yang kembali bertobat
dan menjadi Istiqomah gara-gara perbuatan
dosanya, dan sebaliknya betapa banyak orang
yang akhirnya malah maksiat gara-gara
ibadahnya, dimana ia bangga dengan prestasi
amal ibadah, lalu takjub pada diri sendiri,
kemudian riya’ dan takabur.
Optimisme pada rahmat dan anugerah Allah
Ta’ala harus menjadi titik utama ke depan.
Karena bila manusia bertaubat dengan taubatan
Nasuha, malah seluruh dosanya diampuni.
Tetapi jangan sampai manusia meremehkan
perbuatan dosa dengan beralibi, “Allah Maha
Ampun, atau ampunan Allah lebih besar
dibanding dosanya, atau apa artinya dosaku
kalau dibanding rahmat Allah….” dst. Yang
menggiring seseorang terbelit dosa terus
menerus.
Pandangan Ibnu Athaillah untuk mengingatkan
kita agar kita tidak putus asa pada RahmatNya,
bahkan dalam kondisi terpuruk oleh dosa sekali
pun.
Allah Swt, justru menghampiri kepada para
pendosa agar kembali kepadaNya, karena
dibalik “kembali” itu ada “cinta” yang
begitu agung dariNya. Cinta itu sangat luhur
dan besar nilainya disbanding apa pun.
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang taubat.” Begitu ditegaskan dalam Al-
Qur’an.
Bahkan di awal kitab Al-Hikam ini disebutkan,
“Tanda-tanda manusia bergantung dan
mengandalkan amalnya, adalah kehilangan
harapan (terhadap rahmat Allah) ketika
berbuat dosa.”
Rasa kehilangan akan harapan ampunan dan
rahmat adalah bentuk pesimisme yang
berbahaya, karena pada saat yang sama
seseorang tidak menggantungkan diri pada
Sang Pencipta Amal, malah menggantungkan
pada amal itu sendiri yang diklaim sebagai
perbuatannya.
Padahal amal baik tidak menjamin seseorang
masuk syurga, dan amal buruk tidak otomatis
seseorang pasti masuk neraka. Masuk neraka
itu semata karena keadilan Allah, dan masuk
syurga karena rahmat dan ridhoNya.
Bila anda meraih rahmat dan ridhoNya, maka
taat dan kepatuhan anda sebagai tanda
memang anda ditakdirkan masuk syurga.
Sedangkan bagi mereka yang mendapat keadilan
Allah Swt, (na’udzubillahi min dzaalik)
seseorang ditandai dengan berbuat maksiat dan
menuruti nafsunya belaka di dunia.

sumber: sufinews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar