Minggu, 20 November 2011

Dua Tirai

Syekh Ibnu Athoillah as-Sakandary.
“Tirai itu terbagi dua; Tirai dari maksiat, dan
tirai di dalam maksiat. Umumnya orang
mencari tirai dari Allah Ta’ala, agar tertirai
di dalam
maksiat, karena takut martabatnya jatuh di
mata publik. Sedangkan kalangan khusus
mencari tirai dari maksiat, karena takut bila
gugur dari pandangan Sang Maha Diraja Al-
Haq.”
Orang yang bermaksiat kebanyakan ingin
tertutup dari makhluk, bisa karena malu, atau
karena gengsi ataupun karena takut harga
dirinya jatuh. Tirai atau tutup itu disebut
sebagai tutup di “dalam maksiat”. Bagi
kalangan ini, tutup di dalam maksiat berarti
tidak memandang Allah swt, namun lebih
memandang kepentingan derajat makhluk atau
harga diri kemakhlukan.
Disinilah orang yang maksiat ini tidak
memandang celaan dari Allah Ta’ala – awal
hingga akhirnya – dan menumbuhkan riya’,
berbagus diri di hadapan makhluk, bukan di
hadapan Allah Ta’ala. Hal demikian disebabkan
oleh pendeknya himmah mereka dan minimnya
iman mereka.
Sedangkan kalangan khusus, sejak awal justru
lari dari maksiat, kalau toh pun mereka
mencari tirai, itu karena dalam proses
perjalanannya, ingin sekali terhindar dari
maksiat. Dalam konteks inilah disebut mencari
“tutup dari maksiat”. Mereka bermotivasi
agar terhindar dari maksiat, ada beberapa
kategori:
1. Bisa mencari tutup karena takut akan
siksaNya.
2. Bisa mencari tutup karena takut akan
hijabNya. Dan,
3. Bisa karena takut akan kehilangan pahala
dariNya.
Ada pula mencari tirai karena khawatir
terlempar dari pintuNya; atau dari sisiNya, dan
sebagainya, dan semua itu kembali karena
ketakutan kalangan khusus ini jika tidak
dipandang lagi oleh Allah Ta’ala. Karena
mereka bisa kehilangan banyak kebajikan,
sekaligus banyak keburukan tiba.
Yang paling agung adalah mereka mencari tutup
dari maksiat karena rasa takut luar biasa akan
Kharisma Ilahi, karena rasa malu, rasa
mengagungkan kepadaNya. Bahkan seandainya
Allah Ta’ala mengampuni semua
dosa-dosanya sekalipun, rasa malunya kepada
Allah Ta’ala serasa tak pernah sirna.
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Fudhail bin
‘Iyadh ra, “Duh betapa malunya kepadaMu…
walau Engkau telah mengampuni…”

Bila saja faktor penghambat maksiat itu
justru dating karena tirai dari maksiat, maka
jika makhluk lain memuliakan anda, tetap saja
kembali pada TiraiNya, bukan pada diri anda,
baik anda orang yang taat maupun anda orang
yang maksiat. Makanya Ibnu Athaillah
mengingatkan:
“Siapa pun yang memuliakan anda ,
sesungguhnya ia telah memuliakan yang ada di
dalam dirimu berupa keindahan TiraiNya.
Karena itu pujian seharusnya kepada yang
menutupi anda, dan pujian bukan pada orang
yang memuliakan anda atau bukan kepada yang
mengucapkan terimakasih kepada anda.”
Banyak orang balik memuji orang yang memuji
anda atau berterimakasih pada anda. Padahal
seharusnya pujian itu kepada yang menutupi
aib dan kekuarangan anda, yaitu Allah Rabbul
Izzah Ta’ala. Karena tanpa tirai tutupnya
yang indah pada anda, tak satu pun menghargai
dan mengormati anda.
<# Karena itu ada pepatah Sufi yang indah: “Di sana tak ada lain kecuali karena karuniaNya, dan tak ada kehidupan melainkan karena ada dalam tiraiNya. Jika saja tirai itu dibuka, pastilah terbuka cacat besar yang tiada tara.”
Manusia itu, pada aslinya adalah tempatnya
kurang dan cacat. Baik orang tersebut ahli
ibadah maupun ahli maksiat. Baik orang itu
sedang mendapatkan nikmat atau cobaan.
Maka kita wajib memuji Allah swt, yang
menutupi diri kita dengan tutupNya yang indah
itu.

sumber: sufinews

Ragam Dzikir

Ibnu Athaillah As Sakandary
Dzikir itu bermacam-macam. Sedangkan Yang
Didzikir hanyalah Satu, dan tidak terbatas. Ahli
dzikir adalah kekasih-kekasih Allah. Maka dari
segi kedisiplinan terbagi menjadi tiga:
Dzikir Jaly
Dzikir Khafy
Dzikir HaqiqiDzikir Jaly (bersuara), dilakukan
oleh para pemula, yaitu Dzikir Lisan yang
mengapresiasikan syukur, puhjian,
pebngagungan nikmat serta menjaga janji dan
kebajikannya, dengan lipatan sepuluh kali
hingga tujuh puluh.Dzikir Batin Khafy
(tersembunyi) bagi kaum wali, yaitu dzikir
dengan rahasia qalbu tanpa sedikit pun
berhenti. Disamping terus menerus baqa' dalam
musyahadah melalui musyahadah kehadiran
jiwa dan kebajikannya, dengan lipatan tujuh
puluh hingga tujuh ratus kali.
Dzikir Haqiqi yang kamil (sempurna) bagi
Ahlun-Nihayah (mereka yang sudah sampai di
hadapan Allah swt,) yaitu Dzikirnya Ruh melalui
Penyaksian Allah swt, terhadap si hamba. Ia
terbebaskan dari penyaksian atas dzikirnya
melalui baqa'nya Allah swt, dengan symbol,
hikmah dan kebajikannya mulai dari tujuh
ratus kali lipat sampai tiada hingga. Karena
dalam musyahadah itu terjadi fana', tiada
kelezatan di sana.
Ruh di sini merupakan wilayah Dzikir Dzat, dan
Qalbu adalah wilayah Dzikir Sifat, sedangkan
Lisan adalah wilayah Dzikir kebiasaan umum.
Mananakala Dzikir Ruh benar, akan menyemai
Qalbu, dan Qalbu hanya mengingat Kharisma
Dzat, di dalamnya ada isyarat perwujudan
hakikat melalui fana'. Di dalamnya ada rasa
memancar melalui rasa dekatNya.
Begitu juga, bila Dzikir Qalbu benar, lisan
terdiam, hilang dari ucapannya, dan itul;ah
Dzikir terhadap panji-panji dan kenikmatan
sebagai pengaruh dari Sifat. Di dalamnya ada
isyarat tarikanpada sesuatu tersisa di bawah
fana' dan rasa pelipatgandaan qabul dan
pengungkapan-pengungkapan.
Manakala qalbu alpa dari dzikir lisan baru
menerima dzikir sebagaimana biasa.
Masing-masing setiap ragam dzikir ini ada
ancamannya.
Ancaman bagi Dzikir Ruh adalah melihat
rahasia qalbunya. Dan ancaman Dzikir Qalbu
adalah melihat adanya nafsu dibaliknya.
Sedangkan ancaman Dzikir Nafsu adalah
mengungkapkan sebab akibat. Ancaman bagi
Dzikir Lisan adalah alpa dan senjang, maka
sang penyair mengatakan :
Dialah Allah maka ingatlah Dia
Bertasbihlah dengan memujiNya
Tak layaklah tasbih melainkan karena
keagunganNya
Keagungan bagiNya sebenar-benar total para
pemuji
Kenapa masih ada
Pengandaian bila dzikir-dzikir hambaNya
diterima?
Manakala lautan memancar, dan samudera
melimpah
Berlipat-lipat jumlahnya
Maka penakar lautan akan kembali pada
ketakhinggaan
Jika semua pohon-pohon jadi pena menulis
pujian padaNya
Akan habislah pohon-pohon itu, bahkan jika
dilipatkan
Takkan mampu menghitungnya.
Dia ternama dengan Sang Maha Puji
Sedang makhlukNya menyucikan sepanjang
hidup
Bagi kebesaranNya.
Perilaku manusia dalam berdzikir terbagi tiga:
Khalayak umum yang mengambil faedah dzikir.
Khalayak khusus yang bermujahadah
Khalayak lebih khusus yang mendapat limpahan
hidayah.
Dzikir untuk khalayak umum, adalah bagi
pemula demi penyucian. Dzikir untuk khalayak
khusus sebagai pertengahan, untuk menuai
takdir. Dan dzikir untuk kalangan lebih khusus
sebagai pangkalnya, untuk waspada
memandangNya.
Dzikir khalayak umum antara penafian dan
penetapan (Nafi dan Itsbat)
Dzikir khalayak khusus adalah penetapan dalam
penetapan (Itsbat fi Itsbat)
Dzikir kalangan lebih khusus Allah bersama
Allah, sebagai penetapan Istbat (Itsbatul
Istbat), tanpa memandang hamparan luas dan
tanpa menoleh selain Allah Ta'ala.
Dzikir bagi orang yang takut karena takut atas
ancamanNya.
Dzikir bagi orang yang berharap, karena
inginkan janjiNya.
Dzikir bagi penunggal padaNya dengan
Tauhidnya
Dzikir bagi pecinta, karena musyahadah
padaNya.
Dzikir kaum 'arifin, adalah DzikirNya pada
mereka, bukan dzikir mereka dan bukan bagi
mereka.
Kaum airifin berdzikir kepada Allah swt,
sebagai pemuliaan dan pengagungan.
Ulama berdzikir kepada Allah swt, sebagai
penyucian dan pengagungan.
Ahli ibadah berdzikir kepada Allah swt, sebagai
rasa takut dan berharap pencinta berdzikir
penuh remuk redam.
Penunggal berdzikir pada Allah swt dengan
penuh penghormatan dan pengagungan.
Khalayak umum berdzikir kepada Allah swt,
karena kebiasaan belaka.
[pagebreak] Hamba senantiasa patuh, dan
setiap dzikir ada yang Diingat, sedangkan orang
yang dipaksa tidak ada toleransi.
Tata cara Dzikir ada tiga perilaku :
1. Dzikir Bidayah (permulaan) untuk kehidupan
dan kesadaran jiwa.
2. Dzikir Sedang untuk penyucian dan
pembersihan.
3. Dzikir Nihayah (pangkal akhir) untuk wushul
dan ma'rifat.
Dzikir bagi upaya menghidupkan dan
menyadarkan jiwa, setelah seseorang terlibat
dosa, dzikir dilakukan dengan syarat-
syaratnya, hendaknya memperbanyak dzikir :
"Wahai Yang Maha Hidup dan Memelihara
Kehidupan, tiada Tuhan selain Engkau."
Dzikir bagi pembersihan dan penyucian jiwa,
setelah mengamai pengotoran dosa, disertai
syarat-syarat dzikir, hendaknya
memperbanyak :
"Cukuplah bagiku Allah Yang Maha Hidup nan
Maha Mememlihara Kehidupan."
Ada tiga martabat dzikir :
Pertama, dzikir alpa dan balasannya adalah
terlempar, tertolak dan terlaknat.
Kedua, dzikir hadirnya hati, balasannya adalah
kedekatan, tambahnya anugerah dan keutamaan
anugerah.
Ketiga, dzikir tenggelam dalam cinta dan
musyahadah serta wushul. Sebagaimana
dikatakan dalam syair :
Kapan pun aku mengingatMu, melainkan risau
dan gelisahku
Pikiranku, dzikirku, batinku ketika
mengingatMu,
Seakan Malaikat Raqib Kau utus membisik
padaku
Waspadalah, celaka kamu, dzikirlah!
Jadikan pandanganmu pada pertemuanmu
denganNya
Sebagai pengingat bagimu.
Ingatlah, Allah telah memberi panji-panji
kesaksianNya padamu
Sambunglah semua dari maknaNya bagi
maknamu
Berharaplah dengan dengan menyebut
kebeningan dari segala yang rumit
Kasihanilah kehambaanmu yang hina dengan
hatimu
Siapa tahu hati menjagamu
Dzikir itu sendiri senantiasa dipenuhi oleh tiga
hal :
Dzikir Lisan dengan mengetuk Pintu Allah swt,
merupakan pengapus dosa dan peningkatan
derajat.
Dzikir Qalbu, melalui izin Allah swt untuk
berdialog dengan Allah swt, merupakan
kebajikan luhur dan taqarrub.
Dzikir Ruh, adalah dialog dengan Allah swt,
Sang Maha Diraja, merupakan manifestasi
kehadiran jiwa dan musyahadah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kealpaan
adalah kebiasaan dzikir yang kosong dari
tambahan anugerah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kesadaran
hadir, adalah dzikir ibadah yang dikhususkan
untuk mencerap sariguna.
Dzikir dengan Lisan yang kelu dan qalbu yang
penuh adalah ketersingkapan Ilahi dan
musyahadah, dan tak ada yang tahu kadar
ukurannya kecuali Allah swt.
Diriwayatkan dalam hadits : "Siapa yang pada
wal penempuhannya memperbanyak membaca
"Qul Huwallaahu Ahad" Allah memancarkan
NurNya pada qalbunya dan menguatkan
tauhidnya.
Dalam riwayat al-Bazzar dari Anas bin Malik,
dari Nabi saw. Beliau bersabda :
"Siapa yang membaca surat "Qul Huwallahu
Ahad" seratus kali maka ia telah membeli
dirinya dengan surat tersebut dari Allah Ta'ala,
dan ada suara berkumandang dari sisi Allah
Ta'ala di langit-langitNya dan di bumiNya,
"Wahai, ingatlah, sesungguhnya si Fulan adalah
orang yang dimerdekakan Allah, maka barang
siapa yang sebelumnya merasa punya pelayan
hendaknya ia mengambil dari Allah swt .
Diriwayatkan pula: "Siapa yang memperbanyak
Istighfar, Allah meramaikan hatinya, dan
memperbanyak rizkinya, serta mengampuni
dosanya, dan memberi rizki tiada terhitung.
Allah memberikan jalan keluar di setiap
kesulitannya, diberi fasilitas dunia sedangkan
ia lagi bangkrut. Segala sesuatu mengandung
siksaan, adapun siksaan bagi orang arif adalah
alpa dari hadirnya hati dalam
dzikir."[pagebreak]
Dalam hadits sahih disebutkan:
"Segala sesuatu ada alat pengkilap. Sedangkan
yang mengkilapkan hati adalah dzikir. Dzikir
paling utama adalah Laa Ilaaha Illalloh".
Unsur yang bisa mencemerlangkan qalbu,
memutihkan dan menerangkan adalah dzikir itu
sendiri, sekaligus gerbang bagi fikiran.
Majlis tertinggi dan paling mulia adalah duduk
disertai kontemplasi (renungan, tafakkur) di
medan Tauhid. Tawakkal sebagai aktifitas qalbu
dan tauhid adalah wacananya.
Pintu dzikir itu tafakkur,
Pintu pemikiran adalah kesadaran.
Sedang pintu kesadaran zuhud.
Pintu zuhud adalah menerima pemberian Allah
Ta'ala (qona'ah)
Pintu Qonaah adalah mencari akhirat.
Pintu akhirat itu adalah taqwa.
Pintu Taqwa ada di dunia.
Pintu dunia adalah hawa nafsu,.
Pintu hawa nafsu adalah ambisi.
Pintu ambisi adalah berangan-angan.
Angan-angan merupakan penyakit yang akut
tak bias disembuhkan.
Asal angan-angan adalah cinta dunia.
Pintu cinta dunia adalah kealpaan.
Kealpaan adalah bungkus bagi batin qalbu yang
beranak pinak di sana.
Tauhid merupakan pembelah, di mana tak satu
pun bisa mengancam dan membahayakannya.
Sebagaimana dinkatakan :
"Dengan Nama Allah, tak ada satu pun di bumi
dan juga tidak di langit yang membahayakan,
bersama NamaNya. Dan Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Tauhid paling agung, esensi, qalbu dan
mutiaranya adalah Tauhidnya Ismul Mufrad
(Allah) ini, menunggalkan dan mengenalNya.
Sebagian kaum 'arifin ditanya mengenai Ismul
A'dzom, lalu menjawab, "Hendaknya anda
mengucapkan: Allah!", dan anda tidak ada di
sana.
Sesungguhnya orang yang berkata "Allah",
masih ada sisa makhluk di hatinya, sungguh tak
akan menemukan hakikat, karena adanya hasrat
kemakhlukan.
Siapa pun yang mengucapkan "Allah" secara
tekstual (huruf) belaka, sesungguhnya secara
hakikat dzikir dan ucapannya tidak diterima.
Karena ia telah keluar (mengekspresikan) dari
unsur, huruf, pemahaman, yang dirasakan,
simbol, khayalan dan imajinasi. Namun Allah
swt, ridlo kepada kita dengan hal demikian,
bahkan memberi pahala, karena memang tidak
ada jalan lain dalam berdzikir, mentauhidkan,
dari segi ucapan maupun perilaku ruhani
kecuali dengan menyebut Ismul Mufrad
tersebut menurut kapasitas manusia dari
ucapan dan pengertiannya.
Sedangkan dasar bagi kalangan khusus yang
beri keistemewaan dan inayah Allah swt dari
kaum 'arifin maupun Ulama ahli tamkin (Ulama
Billah) Allah tidak meridloi berdzikir dengan
model di atas. Sebagaimana firmanNya :
"Dan tak ada yang dari Kami melainkan baginya
adalah maqom yang dimaklumi."
Sungguh indah apa yang difirmankan. Dan
mengingatkan melalui taufiqNya pada si hamba,
memberikan keistemewaan pada hambaNya.
Maka nyatalah Asmaul Husna melalui ucapannya
dan dzikir pada Allah melalui dzikir menyebut
salah satu AsmaNya.
Maka, seperti firmanNya "Kun", jadilah seluruh
ciptaan semesta, dan meliputi seluruh maujud.
Siapa yang mengucapkan "Allah" dengan benar
bersama Allah, bukan disebabkan oleh suatu
faktor tertentu, namun muncul dari
pengetahuan yang tegak bersamaNya, penuh
dengan ma'rifat dan pengagungan padaNya,
disertai penghormatan yang sempurna dan
penyucian sejati, memandang anugerah, maka
ia benar-benar mengagungkan Allah Ta'ala,
benar-benar berdzikir dan mengagungkanNya
dan mengenal kekuasaanNya.
Sebab, mengingat Allah dan mentauhidkanNya
adalah RidloNya terhadap mereka bersamaNya,
sebagaimana layakNya Dia Yang Maha Suci.
Ma'rifat itu melihat, bukan mengetahui. Melihat
nyata, bukan informasi. Menyaksikan, bukan
mensifati. Terbuka, bukan hijab. Mereka bukan
mereka dan mereka tidak bersama mereka dan
tidak bagi mereka. Sebagaimana firmanNya :
"Nabi Isa tidak lain hanyalah seorang hamba
yang Kami berikan nikmat kepadanya." (Az-
Zukhruf: 59)
"Dan jika Aku mencintainya, maka Akulah
Pendengaran baginya, Mata dan tangan dan Kaki
baginya."
Bagiamana jalan menuju padaNya, sedang ia
disucikan
Dari aktivitas keseluruhan dan bagi-bagi
tugas?
Demi fana wujud mereka, karena WujudNya
Disucikan dari inti dan pecahan-pecahannya?
Tak satu pun menyerupaiNya, bahkan mana dan
bagaimana
Setiap pertanyaan tentang batas akan lewat
Dan diantara keajaiban-keajaiban bahwa
WujudNya di atas segalanya dan sirnanya
pangkal penghabisan.

sumber: sufinews

Keutamaan Dzikir "Allohu Akbar"

Ibnu Athaillah As Sakandary
Begitu pula "Allahu akbar", yang di dalamnya
ada lima perspektif :
Pertama: Dalam "Allahu Akbar" ada
penyebutan Allah Ta'ala pada diriNya Sendiri,
pentauhidan, pengagungan dan penghormatan
atas
keagunganNya, yang lebih agung dan lebih besar
dibanding penyebutan makhlukNya yang lemah,
sangat butuh, dan pentauhidan makhluk
kepadaNya. Karena Allah swt-lah Yang Maha
Mencukupi dan Maha Terpuji.
Kedua: Dzikir dengan Nama tersebut lebih
agung dibanding dzikir dengan Asma'-asma'Nya
yang lain.
Ketiga: Bahwa Dzikirnya Allah Ta'ala pada
hambaNya di zaman Azali sebelum hambaNya
ada, adalah Dzikir teragung dan terbesar, yang
menyebabkan dzikirnya hamba saat ini.
Dzikirnya Allah Ta'ala tersebut lebih dahulu,
lebih sempurta, lebih luhur, lebih tinggi, lebih
mulia dan lebih terhormat. Dan Allah Ta'ala
berfirman : "Niscaya Dzikirnya Allah itu lebih
besar."
Keempat: Sebenarnya mengingat Allah swt, di
dalam sholat lebih utama dan lebih besar
dibanding mengingatNya di luar sholat.
Menyaksikan (musyahadah) pada Allah Ta'ala
(Yang Diingat) di dalam sholat lebih agung dan
lebih sempurna serta lebih besar ketimbang
sholatnya.
Kelima: Bahwa mengingat Allah atas berbagai
nikmat yang agung dan anugerah mulia, serta
doronganNya kepadamu melalui ajakanNya
kepadamu agar taat kepadaNya, adalah nikmat
paling besar dibanding dzikir anda kepadaNya,
dengan mengingat nikmat-nikmat itu, karena
anda semua tidak akan pernah mampu
mensyukuri nikmatNya.
Karena itu Nabi Muhammad saw, bersabda:
"Aku tidak mampu memuji padaMu, Engkau,
sebagaimana Engkau memujiMu atas DiriMu."
Artinya, "aku tidak mampu," padahal beliau
adalah makhluk paling tahu, paling mulia, dan
paling tinggi derajatnya dan paling utama.
Justru Nabi saw, menampakkan kelemahannya,
padahal beliau adalah paling tahu dan paling
ma'rifat - semoga sholawat dan salam Allah
melimpah padanya dan keluarganya -.
Setelah kita mentauhidkan Allah swt, yang
dinilai lebih agung ketimbang sholat, sehingga
sholat menjadi rukun islam yang kedua. Dalam
sabda Rasulullah saw:
"Islam ditegakkan atas lima: Hendaknya
menunggalkan Allah dan menegakkan sholat…
dst". Takbiratul Ihram dijadikan sebagai
pembukanya, Allahu Akbar.
Allah tidak menjadikan salah satu Asma-
asma'Nya yang lain, untuk Takbirotul Ihrom,
kecuali hanya Allahu Akbar. Karena Nabi saw,
melarangnya , demikian juga untuk Lafadz
Adzan, tetap menggunakan Takbir tersebut,
begitu pun setiap takbir dalam gerakan sholat.
Jadi Nama agung tersebut lebih utama
dibanding Nama-nama lainnya, lebih dekat bagi
munajat-munajat, bukan hanya dalam sholat
atau lainnya.
Dalam hadits disebutkan:
"Aku berada pada dugaan hambaKu apabila
hamba berdzikir padaKu. Maka apabila ia
berdzikir kepadaKu dalam jiwanya, Aku
mengingatnya dalam JiwaKu. Dan jika ia
berdzikir padaKu dengan kesendirianNya, maka
Aku pun mengingat dengan KemahasendirianKu.
Dan jika ia berdzikir di tengah padang
(keramaian) maka Aku pun mengingatnya di
keramaian lebih baik darinya."
Allah swt. Berfirman:"Dzikirlah kepadaKu maka
Aku berdzikir kepadamu."
Hal yang menunjukkan keutamaan dzikir
dibanding sholat dari esensi ayat tersebut,
yaitu firman Allah swt:
"Sesungguhnya sholat itu mencegah keburukan
dan kemungkaran."
Yang walau demikian merupakan dzikir
teragung, namun Dzikir "Allah" itu lebih besar
daripada sholat dan dibanding setiap ibadah
Abu Darda' meriwayatkan dari Nabi saw, beliau
bersabda :
"Ingatlah, maukah aku beri kabar kalian
tentang amal terbaikmu dan lebih luhur dalam
derajatmu, lebih bersih di hadapan Sang
Rajamu, dan lebih baik bagimu ketimbang
memberikan emas dan perak, dan lebih baik
ketimbang kalian bertemu musuhmu lalu
bertempur di mana kalian memukul leher
mereka dan mereka pun membalas memukul
lehermu?" Mereka menjawab, "Ya, kami mau.."
Rasulullah saw, bersabda, "Dzikrullah."
Juga dalam hadits yang diriwayatkan Mu'adz
bin Jabal :
"Tak ada amal manusia mana pun yang lebih
menyelamatkan baginya dari azdab Allah,
disbanding dzikrullah."
Makna Dzikrullah bagi hambaNya adalah bahwa
yang berdzikir kepadaNya itu disertai Tauhid,
maka Allah mengingatnya dengan syurga dan
pahala. Lalu Allah swt berfirman :
"Maka Allah memberikan balasan kepada
mereka atas apa yang mereka katakana, yaitu
syurga yang mengalir sungai-sungai di
bawahnya."
Dengan dzikir melalui Ismul Mufrad, yaitu
"Allah", dan berdoa dengan ikhlas kepadaNya,
Allah swt berfirman :
"Dan apabila hambaKu bertanya kepadaKu
tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha
Dekat…"
Siapa yang berdzikir dengan rasa syukurnya,
Allah memberikan tambahan ni'mat berlimpah :
"Bila kalian bersyukur maka Aku bakal
menambah (ni'matKu) kepadamu…"
Tak satu pun hamba Allah yang berdzikir
melainkan Allah mengingat mereka sebagai
imbalan padanya. Bila sang hamba adalah
seorang 'arif (orang yang ma'rifat) berdzikir
dengan kema'rifatannya, maka Allah swt,
mengingatnya melalui penyingkapan hijab untuk
musyahadahnya sang 'arif.
Bila yang berdzikir adalah mukmin dengan
imannya, Allah swt, mengingatnya dengan
rahmat dan ridloNya.
Bila yang berdzikir adalah orang yang taubat
dengan pertaubatannya, Allah swt,
mengingatnya dengan penerimaan dan
ampunanNya.
Bila yang berdzikir adalah ahli maksiat yang
mengakui kesalahannya, maka Allah swt,
mengingatnya dengan tutup dan
pengampunanNya.
Jika yang berdzikir adalah sang penyimpang
dengan penyimpangan dan kealpaannya, maka
Allah swt mengingatnya dengan adzab dan
laknatNya.
Bila yang berdzikir adalah si kafir dengan
kekufurannya, maka Allah swt, mengingatnya
dengan azab dan siksaNya.
Siapa yang bertahlil padaNya, Allah swt,
menyegerakan DiriNya padanya
Siapa yang bertasbih, Allah swt, membagusinya
Siapa yang memujiNya Allah swt,
mengukuhkannya.
Siapa yang mohon ampun padaNya, Allah swt
mengampuninya.
Siapa yang kembali kepadaNya, Allah swt,
menerimanya.
Kondisi sang hamba itu berputar pada empat
hal :
Pertama: Ketika dalam keadaan taat, maka
Allah swt, mengingatkannya dengan
menampakkan anugerah dalam taufiqNya di
dalam taat itu.
Kedua: Ketika si hamba maksiat, Allah swt
mengingatkannya melalui tutup dan taubat.
Ketiga: Ketika dalam keadaan meraih nikmat,
Allah swt mengingatkannya melalui syukur
kepadaNya.
Keempat: Ketika dalam cobaan, Allah
mengingatkannya melalui sabar.
Karena itu dalam Dzikrullah ada lima
anugerah :
1. Adanya Ridlo Allah swt.
2. Adanya kelembutan qalbu.
3. Bertambahnya kebaikan.
4. Terjaga datri godaan syetan.
5. Terhalang dari tindak maksiat.
Siapa pun yang berdzikir, Allah pasti mengingat
mereka.
Tak ada kema'rifatan bagi kaum a'rifin,
melainkan karena pengenalan Allah swt kepada
mereka.
Dan tak seorang pun dari kalangan Muwahhidun
(hamba yang manunggal) melainkan karena
ilmunya Allah kepada mereka.
Tak seorang pun orang yang taat kepadaNya,
kecuali karena taufiqNya kepada mereka.
Tak ada rasa cinta sang pecinta kepadaNya,
kecuali karena anugerah khusus CintaNya
kepada mereka.
Tak seorang pun yang kontra kepada Allah swt,
kecuali karena kehinaan yang ditimpakan Allah
swt, kepada mereka.
Setiap nikmat dariNya adalah pemberian. Dan
setiap cobaan dariNya adalah ketentuan.
Sedangkan setiap rahasia tersembunyi yang
mendahului, akan muncul secara nyata di
kemudian hari.
Perlu diketahui bahwa kalimat tauhid
merupakan sesuatu antara penafiaan dan
penetapan. Awalnya adalah "Laa Ilaaha", yang
merupakan penafian, pembebasan,
pengingkaran, penentangan, dan akhinya adalah
"Illallah", sebagai kebangkitan, pengukuhan,
iman, tahid, ma'rifat, Islam, syahadat dan
cahaya-cahaya.
"Laa" adalah menafikan semua sifat Uluhiyah
dari segala hal yang tak berhak menyandangnya
dan tidak wajib padanya. Sedangkan "Illallah"
merupakan pengukuhan Sifat Uluhiyah bagi yang
berhak dan wajib secara hakikat.
Secara maknawi terpadu dalam firman Allah
swt :
"Siapa yang kufur pada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka benar-bvenar telah
memegang teguh tali yang kuat."
"Laa Ilaaha Illallah", untuk umum berarti demi
penyucian terhapad pemahaman mereka,.dari
kejumbuhan khayalan imajiner mereka, untuk
suatu penetapan atas Kemaha-Esaan, sekalgus
menafikan dualitsme.
Sedangkan bagi kalangan khusus sebagai
penguat agama mereka, menambah cahaya
harapan melalui penetapan Dzat dan Sifat,
menyucikan dari perubahan sifat-sifat baru
dan membuang ancaman bahayanya.
Untuk kalangan lebih khusus, justru sebagai
sikap tanzih (penyucian) terhadap perasaan
mampu berdzikir, mampu memandang anugerah
serta fadhal dan mampu berssyukur, atas
upaya syukurnya.

sumber: sufinews

Perilaku Manusia Dalam Dzikir Tauhid

Ibnu Athaillah As Sakandary
Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam
bertauhid dan berdzikir :
Kelompok pertama, adalah kalangan umum,
yaitu kalangan pemula. Maka tauhidnya adalah
bersifat lisan (oratif) belaka, baik dalam
ungkapan, wacana, akidahnya,
dan keikhlasan, melalui Cahaya Syahadat
Tauhid, " Laa Ilaaha Illallah Muhamadur
Rasululullah". Ini diklasifikasikan tahap Islam.
Kelompok kedua, kalangan Khusus Menengah,
yaitu Tauhid Qalbu, baik dalam apresiasi,
kinerja qalbu maupun akidah, serta
keikhlasannya. Inilah disebut tahap Iman.
Khususul Khusus, yaitu Tauhidnya akal, baik
melalui pandangan nyata, yaqin dan penyaksian
(musyahadah) kepadaNya. Inilah Tahap
Ihsan.
Maqomat Dzikir
Dzikir mempunyai tiga tahap (maqomat) :
Dzikir melalui Lisan : Yaitu dzikir bagi
umumnya makhluk.
Dzikir melalui Qalbu : Yaitu dzikir bagi
kalangan khusus dari orang beriman.
Dzikir melalui Ruh: Yaitu dzikir bagai kalangan
lebih khusus, yakni dzikirnya kaum 'arifin
melalui fana'nya atas dzikirnya sendiri dan
lebih menyaksikan pada Yang Maha Didzikiri
serta anugerahnya apada mereka.
Perilaku Dzikir "Allah"
Bagi pendzikir Ismul Mufrad "Allah" ada tiga
kondisi ruhani:
Pertama: Kondisi remuk redam dan fana'.
Kedua: Kondisi hidup dan baqo'.
Ketiga: Kondisi nikmat dan ridlo.
Kondisi pertama: Remuk redam dan
fana'Yaitu dzikir orang yang membatasi pada
dzikir "Allah" saja, bukan Asma-asma lain,
yang secara khusus dilakukan pada awal mula
penempuhan. Ismul Mufrod tersebut dijadikan
sebagai munajatnya, lalu mengokohkan
manifestasi "Haa' di dalamnya ketika berdzikir.
Siapa yang mendawamkan (melanggengkannya)
maka nuansa lahiriyahnya terfana'kan dan
batinnya terhanguskan. Secara lahiriyah ia
seperti orang gila, akalnya terhanguskan dan
remuk redam, tak satu pun diterima oleh
orang. Manusia menghindarinya bahkan ia pun
menghindar dari manusia, demi kokohnya
remuk redam dirinya sebagai pakaian
lahiriahnya. Rahasia Asma "Allah" inilah yang
hanya disebut. Bila menyebutkan sifat Uluhiyah,
maka tak satu pun manusia mampu
menyifatinya. Ia tidak menetapi suatu tempat,
yang bisa berhubungan dengan jiwa seseorang,
walau di tengah khalayak publik, sebagaimana
firman Allah swt :
"Tidak ada lagi pertalian nasab diantara
mereka di hari itu dan tidak ada pula saling
bertanya." (Al-Mu'minun: 101)
Sedangkan kondisi batinnya seperti mayat yang
fana, karena dzat dan sifatnya diam belaka.
Diam pula dari segala kecondongan dirinya
maupun kebiasaan sehari-harinya, disamping
anggota tubuhnya lunglai, hatinya yang tunduk
dan khusyu'.
Sebagaimana firmanNya :
"Sesungguhnya Kami akan menurunkan
kepadamu perkataan yang berat." (Al-
Muzammil: 5)
"Dan kamu lihat bumi ini kering, dan apabila
telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah, dan menumbuhkan
berbagai macam tumbuh-tumjbuhan yang
indah." (Al-Hajj : 5)
Kondisi kedua: Dari kondisi hidup dan abadi
(baqo'), yaitu manakala orang yang berdzikir
dengan Ismul Mufrod "Allah" tadi mencapai
hakikatnya, kokoh dan melunakkan dirinya,
maka simbol-simbilnya dan sifat-sifatnya
terhanguskan.
Allah meniupkan Ruh Ridlo setelah "kematian
ikhtiar dan hasrat kehendaknya". Ia telah fana'
dari hasrat kebiasaan diri dan syahwatnya, dan
telah keluar dari sifat-sifat tercelanya, lalu
berpindah (transformasi) dari kondisi remuk
redam nan fana' menuju kondisi hidup dan
baqo'. Kondisi tersebut menimbulkan nuansa
kharismatik dan kehebatan dalam semesta,
dimana segalanya takut, mengagungkan dan
metrasa hina dihadapan hamba itu bahkan
semesta meraih berkah kehadirannya.
Kondisi ketiga: Kondisi Nikmat dan Ridlo,
maka bagi orang yang mendzikirkan "Allah"
pada kondisi ini senantiasa mengagungkan apa
pun perintah Allah swt, jiwanya dipenuhi rasa
kasih sayang terhadap sesame makhluk Allah
Ta'ala, tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam
mengajak manusia menuju agama Allah swt.
Dari jiwanya terhampar luas bersama Allah
swt, hanya bagi Allah swt.
Rahmat Allah swt meliputi keleluasaannya, dan
tak satu pun makhluk mempengaruhinya,
bahkan atak ada sesuatu yang tersisa kecuali
melalui jalan izin Allah swt. Ia telah berpindah
dari kondisi ruhani hidup dan baqo', menuju
kondisi nikmat dan ridlo, hidup dengan
kehidupan yang penuh limpahan nikmat
selamanya, mulia, segar dan penuh ridloNya.
Tak sedikit pun ada kekeruhan maupun
perubahan. Selamat, lurus dan mandiri dalam
kondisi ruhaninya, aman dan tenteram.
Sebegitu kokohnya, ia bagaikan hujan deras
yang menyirami kegersangan makhluk, dimana
pun ia berada, maka tumbuhlah dan suburlah
jiwa-jiwa makhluk karenanya. Hingga ia raih
kenikmatan dan ridlo bersama Allah Ta'ala, dan
Allah pun meridloinya. Allah swt berfirman :
"Kemudian Kami bangkitkan dalam kehidupan
makhluk (berbentuk) lain, maka Maha Berkah
Allah sebagai Sebagus-bagus Pencipta" (Al-
Mu'minun: 14)[pagebreak]
Suatu hari seorang Sufi sedang berada di
tengah majlisnya Asy-Syibly, tiba-tiba
berteriak, "Allah!"
Asy-Syibly menimpali, "Apa-apaan ini! Kalau
kamu memang jujur, maka kamu masyhur (di
langit), jika kamu dusta, kamu benar-benar
hancur!".
Seorang lelaki juga berteriak di hadapan Abul
Qasim al-Junayd ra, dan Al-Junayd
berkomentar, "Saudaraku Bila yang anda sebut
itu menyaksikanmu dan anda pun hadir
bersamaNya, berarti engkau telah mengoyak
tirai dan kehormatan, dan mendapatkan
kecemburuan aroma pecinta yang diberikan.
Namun jika anda mengingatNya, sedangkan
anda ghaib dariNya, maka menyebut yang ghaib
(tidak hadir) berarti menggunjing. Padahal
menggunjing itu haram."
Dikisahkan dari Abul Hasan ats-Tasury ra,
ketika beliau berada di rumahnya selama tujuh
hari tidak makan dan tidak minum serta tidak
tidur, ia tetap terus menerus menyebut
Allah…Allah…
Kisah ini disampaikan kepada Al-Junayd atas
tingkah lakunya itu.
"Apakah dia menjaga kewajiban waktunya?"
Tanya al-Junayd.
"Dia tetap sholat tetap pada waktunya."
"Alhamdulillah, Allah yang menjagaNya, dan
tidak memberikan jalan kepada syetan
padanya." Kata al-Junayd.
Kemudian al-Junayd berkata kepada para
santri-santrinya, "Ayo kalian semua berdiri
dan mendatanginya, mungkin kita bias memberi
manfaat padanya atau sebaliknya kita
mengambil faedah darinya."
Ketika al-Junayd masuk di hadapannya, al-
Junayd berkata, "Wahai Abul Hasan, apakah
ucapanmu Allah..Allah..itu bersama Allah
(Billah) atau bersama dirimu sendiri? Bila
engkau mengucapkan bersama Allah, maka
bukan andalah yang mengucapkannya. Karena
Dialah yang berkalam melalui lisan hambaNya.
Sang Pendzikir adalah diriNya bersama
DiriNya. Namun bila yang menyebut tadi adalah
dirimu bersama dirimu, sedangkan anda juga
bersama dirimu sendiri, maka apalah artinya
remuk redam."
"Engkaulah sebaik-baik sang pendidik wahai
Ustadz," kata Ats-Tsaury. Dan rasa gelisah
remuk redamnya tiba-tiba hilang.
Dan aku remuk redam bersamamu karena
mengenangmu
Dan benar atas kebaikan yang melimpah dengan
kenangnanmu
Dan fana bersasmamu penuh keasyikan.
Siapa yang tak pernah merindu pada cinta
Asmara yang mengalahkan akalnya
Demi umurku sungguh ia celaka.
Tak ada dzikir melainkan tenggelam sirna
dengan dzikirnya dari merasa berdzikir
Hanya kepada Yang Diingatlah yang terkenang
Dalam fana dan pertemuan
Siapa yang masih ada akalnya, ia tak akan
pernah berdzikir
Siapa yang hilang dari dzikir, maka benarlah ia
telah membubung kepadaNya
Dzikir itu sendiri merupakan pembersihan dari
kealpaan dan kelupaan, melalui pelanggengan
hadirnya qalbu dan keikhlasan dzikir lisan,
disertai memandangNya, dariNya. Sang Tuanlah
yang mengalurkan ucapan dzikir melalui lisan
hambaNya.
Dikatakan, Dzikir adalah keluar dari medan
kealpaan menuju padang musyahadah
(penyaksian kepadaNya).
Hakikat dzikir adalah mengkonsentrasikan Yang
didzikir, dengan sirrnya si pendzikir dari
dzikirnya, dan fananya si pendzikir dalam
musayahadah dan kehadiran jiwa, sehingga ia
tidak terhilangkan dirinya melalui musyahadah
kepadaNya di dalam musyahadahnya. Maka si
pendzikir menyaksikan Allah bersama Allah,
sehingga Allahlah Yang Berdzikir dan Yang
Didzikir.
Maka dari segi kemudahan dariNya untuk si
hamba, dan keleluasaan untuk berdzikir melalui
lisannya, maka Dialah Yang Berdzikir
kepadahambaNya, lalu segala yang disebutnya
adalah dariNya.
Dari segi intuisi awal yang dating dariNya,
maka Dialah Yang Berdzikir pada DiriNya
melalui lisan hambaNya. Sebagaimana riwayat
hadits shahih disebutkan, bahwa Allah Ta'ala
berfirman: "Akulah pendengaran yang
dengannya ia mendengar, dan Akulah
penghlihatan yang dengannya ia melihat, dan
Akulah lisannya yang dengannya ia bicara."
Dalam riwayat lain juga disebutkan, "Maka
Akulah pendengaran, penglihatan, lisan, tangan
dan penguat baginya."

sumber: sufinews

Bukti Kewalian

Maha Suci Allah Dzat yang tidak menjadikan
bukti atas para waliNya, kecuali bukti itu
mengarah padanya (karakteristiknya), dan Allah
swt tidak menyambungkan pada mereka
(mengenalkan pada mereka) kecuali pada orang
yang dikehendaki untuk sambung kepadaNya.
Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam memasuki
ungkapan hikmah ini diawali dengan tasbih
kepada Allah Swt, semata karena tiga faktor:
Merasakan keagungan dan kebesaran
perkaraNya,
Mengingatkan bahwa para wali Allah itu
disucikan melalui penyucianNya.
Isyarat tidak adanya kesamaan indikator dari
ungkapan rasa dan tujuan ucapan, sebagaimana
Allah Swt tidak dikenal kecuali dari yang
tampak dari tindakanNya, begitu juga wali
tidak dikenal kecuali dari sifat-sifatnya yang
tampak, juga mengenal wali itu tidak bisa
digambarkan kecuali setelah mengenal Allah
Swt, yaitu futuh dari Allah Swt.
Dalam kitab at-Tanswir, Ibnu Athaillah
menegaskan, “Dan hal demikian, dikarenakan
iman itu disebabkan oleh keterbukaan dari
Allah Swt, sehingga tidak akan ada iman
kecuali karena dibuka oleh Allah Swt.”
Wali itu sendiri menurut Syeikh Zarruq r.a.
dikenal melalui tiga karakter:
Memprioritaskan Allah Swt.
Berpaling (hatinya) dari makhluk.
Disiplin terhadap Sunnah dengan benar.
Abu Ali al-Jurjany mengatakan, “Sang wali
senantiasa fana’ dalam ruhaninya, Baqa’
dalam musyahadah kepada Allah Swt, dan Allah
Swt memberikan limpahan pengaturan,
sehingga cahaya-cahaya kewaliannya melimpah
padanya. Kemudian ia tidak memiliki kabar dari
dirinya, dan tidak memiliki tempat berteguh
kecuali hanya pada Allah Swt. Dan dalam
Isyarah dari Allah Swt, bahwa Auliya’ Aku
sebut sebagai Auliya’ karena mereka mereka
hanya (cinta) kepadaKu, bukan pada yang lain
(makhluk) “
Simpulnya sang wali itu senantiasa
mendapatkan limpahan ruhani dari Allah Swt,
sehingga tak pernah sekalipun meninggalkan
Allah Swt untuk selain Allah Swt., lahir
maupun batin. Allah Swt, melimpahkan
kewalian dan tak pernah menanjak pada yang
lainNya, dan karena itulah yang terpenting
mereka ini senantiasa dijaga oleh Allah Swt,
dan bersambung dengan Allah Swt menurut
kadar dan bagian masing-masing.
Siapa pun tidak akan sampai mengenal para
wali itu, sepanjang ia tidak wuquf (perteguh)
pada perintah dan menjauhi larangannya,
berkait dengan hasrat dan ruhaninya, karena
itu –tidak diragukan lagi– merupakan kunci
wushul pada Allah Swt.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan,
“Bersamalah kalian dengan Allah Swt, bila
kalian tidak bisa bersamaNya, bersamalah
dengan orang yang bersama Allah Swt, karena
ia menyambungkan dirimu denganNya.”
Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily r.a.
mengatakan, “Bergabunglah (bergurulah) pada
orang yang apabila ia menyebut senantiasa ia
mengingat Allah, sesungguhnya Allah Swt
mencukupinya ketika ia hadir, dan menjadi
Penggantinya ketika ia tidak ada. Ungkapannya
adalah cahaya bagi hati, dan penyaksiannya
merupakan kunci-kunci rahasiaNya.”

sumber: sufinews

Respon Psikologi Terhadap Pujian

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
"Orang-orang zuhud ketika dipuji, mereka
sedih, karena melihat pujian itu datangnya dari
makhluk. Sedangkan orang-orang yang ’arif
billah ketika dipuji mereka bersukacita, sebab
pujian itu hakikatnya dari Allah Sang Maha
Diraja."
Para a’rifun menyaksikan perbuatan makhluk
itu dari segi wujud pemberlakukan Allah Swt.
pada mereka. Karena itulah sang arif
senantiasa melihat makhluk sebagai
“pena”-nya Allah Ta’ala. Maka bila
mereka dipuji, mereka bersukacita karena
yang dipandang adalah pujian Allah bukan
pujian makhluk, lalu semakin bertambah kuat
kebahagiaannya pada Tuhannya, tenteram
kepadaNya dan tetap lari dari segala hal selain
Dia.
Selain sang arif memandang pujian datang dari
makhluk itu sendiri, lalu ia menerima dan
menolak merutut persepktif kemakhlukan.
Pujian bila muncul, ia senang dan bila yang
muncul cacian ia sedih, maka disitulah pujian
menjadi bentuk penyembelihan atas dirinya.
Bila ia tergolong orang yang zuhud, ia
membenci pujian itu dan lebih senang dicaci.
Karena sang zahid masih juga emmandang itu
dari makghluk, dank arena kezuhudannya, ia
takut jika pujian meracuni hatinya. Hal ini
tentu berbeda dengan sang arif.
Bagi orang yang zuhud berlaku sabda Nabi
Saw.,
“Taburkan debu kemuka para pemuji”
“Pujian itu adalah bentuk penyembelihan (yang
mematikan).”
Beliau juga memperingatkan orang yang
memuji,
“Kalian memenggal leher sahabatmu?”
Bagi sang arif pujian dari makhluk tidak
pernah dilihat dari makhluk, tetapi dari Allah
Azza wa-Jalla, sebagaimana hadits Nabi Saw.,
“Bila Allah mencintai seorang hamba maka
Jibril diundang, dan berfirman, “Aku
mencintai si Fulan.” Lalu Jibril pun mencintai
si Fulan itu, lantas Jibril mengumumkan kepada
ahli langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si
Fulan!”. Ahli langit pun mencintai si Fulan
itu, baru kemudian penghuni bumi menerima.”
Ibnu Athaillah as-Sakandary ra lalu
meneruskan:
“Manakala anda dihamparkan anugerah
pemberian, anda sebutkan bahwa anda sedang
diberi. Jika anda terhalang dari pemberian anda
sebutkan sebagai kegagalan. Itu menunjukkan
betapa kekanak-kanakannya diri anda, dan
anda belum benar dalam menjalankan ubudiyah
anda.”
Hikmah di atas masih berkait denganm deretan
perilaku murid ketika merespon pemberian,
sukses, gagal Dan pujian serta cacian.
Bila seseorang masih menilai pemberian itu
Dari segi wujud nyata pemberian dan kegagalan
dinilai dari segi tidak tercapainya tujuan,
menunjukkan bahwa kehambaannya pada Allah
sangat minim.
Padahal semua itu sama-sama pemberian dari
Allah. Ada yang diberi dalam vbentuk sukses,
ada yang diberi dalam bentuk gagal. Ada yang
berbentuk pujian ada pula yang cacian.
Abu Utsman al-Hiiry menegaskan,
“Seseorang belum disebut sempurna manakala
empat hal ini belum sama di hatinya: Dalam
soal kegagagalan, dalam soal pemberian/
sukses, soal kemuliaan dan soal hinaan.”
Banyak orang yang mengukur pemberian dan
anugerah dari bentuk nyata benda, materi,
nama besar, popularitas, dan massa pendukung.
Seakan-akan jika ia meraih semua itu, ia telah
mendapatkan restu dari Allah Swt. Sebaliknya
yang gagal, kalah, tak meraih kesuksesan
materi dianggap tidak meraih ridhoNya. Inilah
salah kaprah yang berkembang di kalangan
ummat yang harus diluruskan.


sumber: sufinews

Adab Bagi yang Tersingkap Alam Ghoib

"Kadang-kadang Allah Swt memperlihatkan
padamu alam Malakutnya yang ghaib, dan
(namun) Allah Swt menutup dirimu dari melihat
rahasia-rahasia hambaNya."
Diantara kasih sayang Allah Swt pada hamba-
hambaNya, terkadang, Allah Swt membuka
rahasia-rahasia alam malakut pada si hamba
itu, berupa rahasia ilmu pengetahuan dan detail
kema’rifatan, sampai nyata betul, bahkan
anda pun meraih apa yang tak bisa dibayangkan
oleh mata, tak pernah terdengar telinga dan
tak pernah muncul dalam intuisi sekali pun.
Namun pada saat yang sama, Allah Swt, justru
menutup rahasia-rahasia yang ada pada
hamba-hambaNya, karena rahmat dan
cintaNya kepadaMu agar kalian tidak terpedaya
oleh pandangan meneliti rahasia para
makhlukNya dan hamba-hambaNya. Allah Swt
sedang memberikan pelajaran mulia kepadamu
dengan cara menghindarkan dirimu memandang
rahasia makhluk lain.
Dan jika seseorang diperlihatkan rahasia
makhluk Allah Swt, maka harus ada adab dan
akhlaq yang dijalani. Sebagaimana ungkapan
berikut ini:
“Barang siapa yang dibukakan Allah Swt
rahasia-rahasia hambaNya, namun orang itu
tidak berakhlak dengan Rahmat Ilahiyah, maka
wujud penglihatan rahasia itu justru akan
menjadi fitnah (cobaan) bagi dirinya sendiri,
dan menjadi faktor yang menyebabkan
terjadinya cobaan bencana baginya.”
Banyak orang yang dibukakan oleh Allah Swt,
tentang rahasia-rahasia hambaNya, namun
betapa orang itu malah mendapat cobaan yang
serius, hanya karena ia sendiri tidak
menerapkan Akhlaq Rahmat Ilahiyah. Diantara
cobaan yang muncul adalah tragedi ruhaninya
sendiri berupa kesombongan, kekaguman pada
diri sendiri, dan memanfaatkan nya untuk
kepentingan duniawinya.
Padahal rahasia Allah itu ditampakkan padanya,
agar ia menjalankan fungsi Rahmatan
Lil’alamin melalui akhlak Rahmat Ilahiyahnya,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Athaillah as-
Sakandary.
Orang yang berakhlak dengan Rahmat Ilahiyah
adalah orang yang memiliki keluasan kasih
sayang terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala,
dan manusia merasakan hamparan kasih
sayangnya dan perilaku akhlaknya. Ia telah
menjadi bapak bagi mereka. Inilah yang
diteladankan Nabi Saw, dalam Al-Qur’an,
“Dan ia penuh kasih sayang kepada kaum
beriman.” (Q.s. Al-Ahzaab:43)
Sang Nabi Saw, memaafkan orang-orang yang
berbuat salah dan dosa, menyayangi dan
mengasihi orang miskin, dan menjabat tangan
orang-orang yang bodoh serta berbuat baik
pada orang-orang yang berbuat buruk.
Sebab sebagaimana dikatakan oleh Ummul
Mu’minin, ra, “Akhlaknya adalah Al-
Qur’an”, dan beliau membaca ayat,
“Ambillah maaf, dan perintahlah dengan baik,
dan berpalinglah dari orang-orang yang
bodoh.” (Q.s. Al-A’raaf:7).
Orang yang berakhlak demikian, berarti
ketersingkapannnya merupakan kemuliaan
baginya dan rahmat bagi hamba-hambaNya.
Jika tidak, maka ia akan teruji oleh fitnah
dalam dirinya seketika dan di akhirat kelak:
Pertama, ia merasa lebih hebat dan lebih
bersih dibanding yang lain dengan kelebihan-
kelebihannya.
Kedua, ia telah mempersempit rahmat dan
kasih sayang Allah pada hamba-hambaNya.
Ketiga, ia telah menyakiti hamba-hamba Allah
dengan membuka rahasia-rahasia
kelemahannya, dan inilah awal bencana.
Maka penyair Sufi mengatakan:
Tebarlah kasih sayang, wahai anakku
Pada semuanya, dan lihatlah
Pada mereka dengan mata kinasih yang lembut
Hormati yang tua, kasihi yang muda
Jagalah hak akhlak pada setiap makhluk.

sumber: sufinews

Nafsu Nyata Nafsu Tersembunyi

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Bagian nafsu dalam kemaksiatan itu jelas
nyata. Sedangkan bagian nafsu di dalam ta’at,
itu tersembunyi dan tidak nyata. Mengobati
yang tersembunyi itu sangat sulit terapinya.”
Bahwa nafsu itu memiliki kecenderungan
maksiat dan melakukan tindak maksiat itu
sangat nyata dan jelas, karena naluri nafsu
memang demikian. Namun ketika nafsu
menyelinap di balik aktivitas taat, kebajikan,
amaliah, sangat tersembunyi. Alur nafsu dalam
konteks ini memiliki tiga karakter:
Takut pada sesama makhluk,
Ambisi rizki,
Rela pada kemauan nafsu itu sendiri.
Munculnya ketiga karakter itu bersamaan
dengan selera nafsu.
Sedangkan perselingkuhan nafsu dibalik taat
dan ibadah kita begitu tersembunyi. Tiba-tiba
ia merasa lebih tinggi dibanding orang lain,
lebih suci, kemudian muncul rekayasa untuk
manipulasi, dengan tujuan tertentu atau
imbalan tertentu, yang menyebabkan riya’.
Mari kita bertanya pada diri sendiri dibalik
nafsu yang tersembunyi ini. Apakah ketika kita
beribadah, melakukan aktivitas kebajikan dan
amaliyah lainnya, agar kita disebut berperan?
Agar disebut lebih dibanding yang lain?
Mendapat pujian dan kehormatan orang lain?
Anda sendiri dan orang-orang sholeh yang
memiliki matahatilah yang mengenal karakter
itu.
Karena itu nafsu sering bersembunyi dibalik
bendera agama, dibalik aktivitas ibadah dan
gerakan massa keagamaan, bahkan nafsu
merangsek ornamen penampilan orang-orang
saleh, agar disebut saleh.
Disnilah Ibnu Athaillah juga mengingatkan
berikutnya: “Kadang-kadang riya’ itu
masuk padamu, ketika orang lain tidak
memandangmu.”
Kenapa demikian? Karena riya’ itu bertumpu
pada pandangan makhluk. Ketika anda
bersembunyi atau makhluk lain tidak mengenal
anda, lalu anda diam-diam merasa ikhlas,
karena makhluk lain tidak melihatmu, itu pun
disebut riya’. Sebab unsur makhluk masih
tersisa di hatimu.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh, ra, menegaskan,
“Beramal demi pandangan manusia itu adalah
syirik. Sedangkan tidak melakukan amaliah
karena agar dipandang manusia, adalah riya’.
Meninggalkan amal demi manusia adalah syirik.
Ikhlas, adalah Allah jika anda diampuni (lalu
meninggalkan) kedua faktor di atas.”
Ketika seseorang berlaku riya’, dalam kondisi
khalwat, secara diam-diam pula ia ingin
disebut lebih utama dibanding yang lain. “Wah
saya sudah suluk, saya sudah baiat, saya sudah
khalwat… Sedangkan kalian kan belum… Jelas
saya lebih baik dibanding anda…”. Bisikan
lembut ini adalah bentuk ketakaburan dan
riya’.
Inilah mengapa Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Upayamu untuk meraih kemuliaan agar
makhluk mengetahui keistemewaanmu,
menunjukkan bahwa ubudiyahmu sama sekali
tidak benar.”
Karena, menurut Syeikh Zarruq, ra, manakala
anda benar dalam ubudiyah pada Tuhanmu, pasti
anda tidak senang jika yang lainNya tahu
amalmu.
Sebagian Sufi mengatakan, “Tak seorang pun
benar pada Allah Swt, sama sekali, kecuali jika
ia senang bila cintanya tidak dikenal oleh yang
lain.”
Ahmad bin Abul Hawary ra, mengatakan,
“Siapa pun bila senang kebaikannya dipandang
orang lain atau disebut-sebut, ia benar-benar
musyrik dalam ibadahnya. Karena orang yang
berbakti pada cinta, tidak senang bila baktinya
dipandang oleh selain yang dijabdi.”
Sahl bin Abdullah ra, mengatakan, “Siapa yang
senang pamer amalnya pada orang lain ia telah
riya’. Dan siapa yang ingin dikenal kondisi
ruhaninya oleh orang lain, ia adalah
pendusta.”
Ibrahim bin Adham nengatakan, “Tidak benar
bagi Allah orang yang senang dengan
keterkenalan (popularitas).”
Dan menghapus riya’ dan membersihkannya,
sudah seharusnya dilakukan dengan memandang
kepada Allah Swt dan menolak selain DiriNya.

sumber: sufinews

Gara-gara Nafsu

"Tidak dikhawatirkan padamu manakala Jalan
yang ada padamu begitu membingungkan. Tetapi
yang dikawatirkan manakala hawa nafsu
mengalahkan dirimu”.
Kenapa demikian? Menurut Syeikh Ahmad al-
Hadhrawih ra, “Kebenaran itu sudah jelas,
Jalan juga sudah lempang, dan pendakwah telah
memperdengarkan, apalagi yang masih
membuat bingung, kecuali orang yang buta
matahatinya?
Bahkan Abu Utsman menegaskan, “Semua
makhluk Allah sesungguhnya berada di maqom
syukur, namun mereka menduga bahwa dirinya
ada di maqom sabar.”
Mengapa? Sebenarnya cobaan itu merupakan
nikmat dariNya, karena dengan cobaan itu sang
hamba kembali pada aturan kehambaannya,
hingga ia mengenal siapa dirinya, dan dengan
demikian ia mengenal Tuhannya.
Betapa banyak orang yang memanipulasi
kebenaran, agama, dan bahkan dunia hakikat
untuk kepentingan hawa nafsunya, atau bahkan
ketika seseorang meraih derajat luhur malah
terjebak dalam ghurur (tipudaya) nafsunya.
Nafsu ingin selalu dipandang publik, dipuji
orang, disanjung, dianut, diikuti, ditakuti, dan
dikagumi. Dan hasrat demikian semakin
menjauhkan dirinya dari Allah, karena
terdegradasi dari derajat taqarrub kepada
Allah Ta’ala.
Maha Suci Allah yang menutupi rahasia
keistemewaan (hambaNya) dengan tampilnya
sifat-sifat manusiawi. Dan Dia Jelas dengan
agungnya sifat RububiyahNya di dalam
manifestasi sifat-sifat ‘Ubudiyahnya
(hamba).
Rahasia keistimewaan adalah ma’rifat dan
kewalian. Sedangkan sifat-sifat manusiawi itu
adalah wujud kehambaannya, berupa sifat
fakir, hina, lemah, dan tak berdaya di hadapan
Allah Ta’ala, sebagai wujud atas
pandangannya terhadap Sifat Maha CukupNya,
Maha MuliaNya, Maha KuatNya dan Maha
KuasaNya, yang tersembunyi dalam batin
hamba.
Maka dengan munculnya sifat manusiawi itulah
tertututp rahasia keistemewaannya, sehingga
sifat ma’rifat dan kewaliannya tidak bisa
terlihat, karena yang ada hanyalah Sifat
Keagungan Rububiyah yang memancar pada
sifat-sifat kehambaan itu.
Karena itu, perwujudan keistimewaanya
maujud dalam sifat Ubudiyah, dan perwujudan
hakikat ubudiyah adalah meninggalkan segala
hal selain Allah Ta’ala.

sumber: sufinews

Kenapa Kau Tuntut Tuhanmu

"Janganlah kau tuntut Tuhanmu karena
tertundanya keinginanmu, tetapi tuntutlah
dirimu sendiri karena engkau telah menunda
adabmu kepada Allah.”
Betapa banyak orang menuntut Allah, karena
selama ini ia merasa telah berbuat banyak,
telah melakukan ibadah, telah berdoa dan
berjuang habis-habisan.
Tuntutan demikian karena seseorang merasa
telah berbuat, dan merasa perlu ganti rugi dari
Allah Ta’ala. Padahal meminta ganti rugi atas
amal perbuatan kita, adalah wujud ketidak
ikhlasan kita dalam melakukan perbuatan itu.
Manusia yang ikhlas pasti tidak ingin ganti
rugi, upah, pahala dan sebagainya. Manusia
yang ikhlas hanya menginginkan Allah yang
dicinta. Pada saat yang sama jika masih
menuntut keinginan agar disegerakan, itu
pertanda seseorang tidak memiliki adab dengan
Allah Ta’ala.
Sudah sewajarnya jika kita menuntut diri kita
sendiri, karena Allah tidak pernah
mengkhianati janjiNya, tidak pernah
mendzalimi hambaNya, dan semua janjinya
tidak pernah meleset. Kita sendiri yang tidak
tahu diri sehingga, kita mulai intervensi soal
waktu, tempat dan wujud yang kita inginkan.
Padahal itu semua adalah Pekerjaan Allah dan
urusanNya.
Orang yang terus menerus menuntut dirinya
sendiri untuk Tuhannya, apalagi menuntut adab
dirinya agar serasi dengan Allah Ta’ala,
adalah kelaziman dan keniscayaan. Disamping
seseorang telah menjalankan ubudiyah atau
kehambaan, maka si hamba menuruti perilaku
adab di hadapanNya, bahwa salah satu adabn
prinsipalnya adalah dirinya semata untuk Allah
Ta’ala.
Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“ Ketika Allah menjadikanmu sangat sibuk
dengan upaya menjalankan perintah-
perintahNya dan Dia memberikan rezeki, rasa
pasrah total atas Karsa-paksaNya, maka
sesungguhnya saat itulah betapa agung
anugerahNya kepadamu.”
Anugerah paling agung adalah rezeki rasa
pasrah total atas takdirNya yang pedih,
sementara anda terus menerus menjalankan
perintah-perintahNya dengan konsisten, tanpa
tergoyahkan.
Wahb ra, mengatakan, “Aku pernah membaca
di sebagian Kitab-kitab Allah terdahulu,
dimana Allah Ta’ala berfirman:
“Hai hambaKu, taatlah kepadaKu atas apa
yang Aku perintahkan kepadamu, dan jangan
ajari Aku bagaimana Aku berbuat baik
kepadamu.
Aku senantiasa memuliakan orang yang
memuliakan Aku, dan menghina orang yang
menghina perintahKu. Aku tak pernah
memandang hak hamba, sehingga hamba
memandang (memperhatikan) hakKu.”
Syeikh Abu Muhammad bin Abdul Aziz al-
Mahdawi ra, mengatakan, “Siapa pun yang
dalam doanya tidak menyerahkan dan
merelakan pilihannya kepada Allah Ta’ala,
maka si hamba tadi terkena Istidroj dan
tertipu. Berarti ia tergolong orang yang
disebut dengan kata-kata, “Laksanakan
hajatnya, karena Aku sangat tidak suka
mendengarkan suaranya.”. Namun jika ia
menyerahkan pilihannya pada Allah Ta’ala,
hakikatnya ia telah diijabahi walau pun belum
diberi. Amal kebaikan itu dinilai di
akhirnya…”

sumber: sufinews

Wirid Lebih Utama Ketimbang Pahalanya

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
Tidak ada yang meremehkan konsistensi wirid
(ketaatan di setiap waktu) kecuali orang yang
sangat bodoh, karena warid ( pahala wirid) itu
akan di dapat di negeri akhirat, sedangkan taat
atau wirid itu akan lenyap bersama lenyapnya
dunia ini.
Sedangkan yang lebih utama untuk
diprioritaskan adalah yang wujudnya tidak bisa
diabaikan. Wirid adalah HakNya yang harus
anda laksanakan. Sedangkan warid adalah
sesuatu yang anda cari dariNya. Mana yang
lebih utama antara sesuatu yang dituntut oleh
Allah padamu, dibanding apa yang anda tuntut
dari Allah?
Mayoritas ummat ini lebih banyak berburu
pahala dan janjinya Allah swt. Dalam segala
gerak gerik ibadahnya. Padahal yang lebih
utama adalah ibadah dan kepatuhannya itu
sendiri. Sebab kepatuhan dan ubudiyah yang
dituntut oleh Allah swt, dan menjadi HakNya,
itu lebih utama dibanding hak kita yang besok
hanya akan bisa kita raih di akhirat.
Sebab kesempatan melaksanakan HakNya saat
ini dibatasi oleh waktu dunia, dan akan habis
ketika usia seseorang itu selesai. Karena itu
semampang di dunia, ibadah, amal, wirid harus
diperbanyak sebanyak-banyaknya. Soal pahala
dan balasan di akhirat itu bukan urusan kita.
Manusia tidak berhak mengurus dan
menentukan pahalanya. Semua itu adalah
haknya Allah swt. Yang telah dijanjikan kepada
kita, karena merasa menginginkannya.
Ibnu Athaillah lalu menegaskan, mana lebih
utama tuntutan anda apa tuntutan Allah?
Disinilah lalu berlaku pandangan:
1. Taat itu lebih utama dibanding pahalanya.
2. Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya.
3. Istiqomah itu lebih utama dibanding
karomahnya.
4. Berjuang itu lebih utama dibanding
suksesnya.
5. Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang
syurga seisinya.
6. Bertobat itu lebih utama ketimbang
ampunan.
7. Berikhtiar itu lebih utama ketimbang
hasilnya.
8. Bersabar itu lebih utama ketimbang
hilangnya cobaan.
9. Dzikrullah itu lebih utama dibanding
ketentraman hati.
10. Wirid itu lebih utama ketimbang warid.
11. dan seterusnya.
Para sufi sering mengingatkan kita, “Carilah
Istiqomah dan jangan anda menjadi pemburu
karomah. Sebab nafsumu menginginkan
karomah sedangkan Tuhanmu menuntutmu
istiqomah. Jelas bahwa Hak Tuhanmu lebih baik
dibanding hak nafsumu.”
Abu Syulaiman ad-Darany menegaskan,
“Seandainya aku disuruh memilih antara
sholat dua rekaat dan masuk syurga firdaus,
sungguh aku memilih sholat dua rekaat. Karena
dalam dua rekaat itu ada Hak Tuhanku,
sedangkan dalam syurga firdaus hanya ada hak
diriku.”

sumber: sufinews

Karomah Bukan Derajat Luhur

“Tidak setiap orang yang memiliki
keistemewaan itu sempurna kebersihan batin
dan keikhlasannya.”
Saat ini publik ummat sering menilai derajat
luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan
ilmu dan karomahnya. Syeikh Abu Yazid al-
Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang
melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.
“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu
cukup lama…”
“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang
seharian…karena kondisinya memang
demikian,” jawabnya.
“Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa
mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh
Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang
ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah
dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja
tidak dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu
pentetahuan, mampu membaca dan mengenal
dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki
keistemewaan, tetapi banyak pula diantara
mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam
ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda
yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin
Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya,
“Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu
semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku
orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk
merubah dari perilakunya yang tercela menjadi
perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding
orang yang punya karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan, “Yang
mengagumkan bukannya orang yang
memasukkan tangan ke kantong sakunya, lalu
menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang
mengagumkan adalah orang yang memasukkan
tangannya ke kantong sakunya karena merasa
ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia
masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu
tidak ada, namun dirinya tidak berubah
(terkejut) sama sekali.”
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara
Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi
karomah agar perjalanan ruhaninya tidak
berhenti, sehingga semakin menajak, semakin
naik, bukan untuk menunjukkan
keistemewaanya.
Yang istimewaan adalah Istiqomah. Karena itu
para Sufi menegaskan, “Jangan mencari
karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab
istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu
karomah. Dan memang, hakikat kartomah
adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd
al-Baghdady pernah mengi-ngatkan, betapa
banyak para Wali yang terpleset derajatnya
hanya karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah
mengatakan, ketika anda diludahi seseorang
dan anda sama sekali tidak marah, itulah
karomah, yang lebih hebat dibanding karomah
yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat
Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan
langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan
itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang
diantara mereka menegur,
“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang
anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi
percuma sampean bicara sampah di sini…”
Ada seseorang disebut-sebut sebagai
Wali:
“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang,
dan kejadian-kejadian yang pernah kita
lakukan walau pun sudah bertahun-tahun
lamanya…”
“Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa
diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian
yang lalu maupun yang akan datang… Jadi
hati-hati…”
“Beliau itu keturunan seorang Ulama
besar..”
“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur
di hadapan Allah…”
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan
kewalian ini, yang butuh ratusan halaman.
Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai
mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa
kehebatan itu menunjukkan derajat di depan
Allah. Tidak tentu sama sekali.

sumber: sufinews

Kesiapan Menerima Pancaran Anugrah

“Orang yang alpa adalah orang yang
memandang apa yang bakal dikerjakan nanti,
dan orang yang berakal sehat adalah orang
yang memandang apa yang bakal diberlakukan
padanya oleh Allah swt.” Orang yang
senantiasa membuat angan-angan apa yang
akan dikerjakan, apa yang akan dilakukan,
sesungguhnya tergolong orang alpa. Kenapa
demikian? Karena ia lupa bahwa Allah swt, lah
yang sedang memberlakukan semua itu. Ketika
anda sedang menunggu atau merenung apa yang
bakal dilakukan, apakah itu soal dunia atau soal
agama, pada saat yang sama, dimanakah peran
Allah tiba-tiba hilang begitu saja?
Kenapa dmeikian? Karena orang tersebut pasti
sangat bergantung dan mengandalkan amal
usahanya, maka ia senantiasa tidak akan
meraih kesempurnaan selamanya.
Sedangkan orang yang berakal sehat, akan
meninggalkan semua itu, mengembalikan pada
kepasrahan dan kerelaan dirinya kepada Allah
atas apa yang dikehendakiNya. Ia tidak berbuat
pada waktunya kecuali atas perintahNya.
Abu Ayyub as-Sikhtiyani ra mengatakan,
“Bila tak ada yang kau kehendaki maka
kembalikan apa adanya.”
Umar bin Abdul aziz ra, mengatakan, “Di pagi
hari, tak ada kegembraan bagiku kecuali pada
tempat-tempat takdirNya.”
Syeikh abu Madyan ra mengatakan,
“Berhasratlah untuk menjadi pasrah total,
siapa tahu Allah melihatmu lalu Allah
merahmatimu.”
Abdul Wahid bin Zaid mengatakan, “Ridlo itu
adalah Pintu Allah paling agung dan tempat
istirahatnya ahli ibadah serta syurga dunia.”
Guruku ra, manakala aku masuk di hadapannya
selalu menyanyikan syair ini, dan syair ini
dipeuntukkan kaum ‘arifin:
Ikutilah desau ketentuanNya
Ikutilah pusarannya kemana berputar.
Pasrahkan padanyadengan total
Berjalanlah kemana ia bergerak.
Jika mengikuti penekatan al-Hikam, betapa
banyaknya orang yang alpa di abad ini. Semua
mereka lakukan tanpa rasa yaqin kepada Allah
Ta’ala, tetapi mereka melakukan aktivitas
agama dan dunia semata karena kecemasan
dirinya. Rasa cfemas adalah akibat dari
ketergantungannya atas perbuatannya sendiri.
Bukan pada Allah Rabbul ‘Izzah.
Oleh sebab itu Al-Hikam melanjutkan:
“Sesungguhnya para hamba dan kaum zuhud
itu merasa cemas dan gentar dari segala hal,
semata karena hilangnya mereka dari Allah
Ta’ala dalam segala hal. Apabila mereka
menyaksikan Allah dalam segala hal, sedikit
pun mereka tak pernah gentar.”
Kecemasan muncul akibat fenomena yang
terjadi dan yang bakal terjadi. Namun
dipandangnya semua itu dari segi wujudnya
fenomena kehidupan, kenyataan, realitas, dan
benda-benda serta makhluk yang dihadapi.
Kecemasan akan sirna manakala seseorang bisa
memandang Allah dibalik segala hal yang ada.
Abul Abbas al-Hadhramy mengatakan, “Bukan
disebut sebagai lelaki sejati, orang yang tidak
berani memasuki kegelapan, juga bukan yang
memasuki kegelapan dengan kegelapan. Tetapi
lelaki sejati adalah yang memasuki kegelapan
dengan cahaya.”
Beliau juga mengatakan, “Bukan disebut lelaki
sejati orang yang tahu bagaimana pisah dari
dunia, lalu ia meninggalkan dunia. Tetapi lelaki
sejati adalah orang yang mengetahui bagaimana
menahan dunia, lalu ia sukses menahannya.”

sumber: sufinews

Yang Tersembunyi Dibalik Alam Semesta

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary"Allah
swt. Maha Mengetahui sesungguhnya dirimu
tidak sabar untuk menyaksikanNya, maka Allah
swt mempersaksikan padamu apa yang tampak
dariNya."
Anda semua memang tidak sabar untuk segera
memandang Allah Ta’ala, dan
Allah swt, Maha Tahu itu semua, lalu Dia
menampakkan ciptaanNya padamu. Anda bisa
memandang yang tersembunyi di balik
ciptaanNya, maka di sanalah ada aktivitas
Illahi, Asma’ dan SifatNya, lalu anda bisa
memandangNya dengan Mata Hati. Namun mata
kepala terbatas pada ciptaanNya belaka. Itulah
yang disebut dengan memandang dibalik hijab.
Suatu karomah kemuliaan bagimu sekaligus
sebagai pertolonganNya padamu, dimana anda
tidak terhijab dariNya di dunia ini.
Dalam hikmah-hikmah terdahulu Ibnu Athaillah
As-Sakandary, bahkan mengurai panjang lebar
mengenai tidak adanya alasan, seseorang untuk
menegaskan bahwa Allah itu terhijab oleh
segala sesuatu, karena Allah swt menyertai
segala sesuatu, Ada sebelum segala sesuatu
ada, bersama segala sesuatu, dan segala
sesuatu menuju kepadaNya, kembali kepadaNya,
hanya bagiNya. Dia adalah Satu-satunya, dan
Dia adalah Yang Maha Dekat dibanding
segalanya.
Karena itu beliau juga melanjutkan:
"Ketika Allah swt, Mengetahui adanya
kebosanan darimu, maka Allah swt,
memberikan ragam warna taat kepadamu. Dan
Allah swt, Maha Tahu adanya ambisi dalam
dirimu, maka Allah swt membatasinya bagimu
dalam sebagian waktu, agar hasratmu adalah
menegakkan sholat, bukan wujudnya sholat.
Karena tidak setiap orang yang sholat itu
adalah penegak sholat."
Manusia itu punya sifat pembosan, rasa berat,
rasa sembrono, dan sekaligus punya ambisi.
Namun semua itu merupakan tanda akan
kelemahan manusia. Oleh sebab itu Allah swt,
memberikan ragam dan macam ibadah, dengan
waktu yang berbeda, bentuk ibadah yang
berbeda pula, agar setiap perpindahan dari
satu macam ibadah ke ragam lainnya, tetap
bernilai ubudiyah kepada Allah swt.
Namun manusia punya ambisi berlebihan.
Karena itu pula Allah memberikan batas-batas
waktu agar nikmat Allah swt, terus
berlangsung. Dua nikmat dalam peragaman
ibadah dan pembatasan waktu ibadah, adalah
wujud Kasih SayangNya kepadamu.
Bosan dan ambisi adalah dua sifat yang
berbahaya bagi hamba Allah Ta’ala, karena
jika dibiarkan akan memanjakan hawa nafsu
dan semakin menjauhkan dari Allah swt.
Dengan demikian orientasi para hamba bukan
pada wujud ibadahnya, wujud sholatnya, tetapi
pada penegakan sholatnya. Tidak semua orang
sholat benar-benar menjadi "penegak sholat".
Muqimus-sholat berarti menegakkan melalui
pemeliharaan lahir batin, hanya Lillahi Ta’ala.
Tidak ada bayangan, gambaran, atau imajinasi,
bahkan pikiran kemana-mana, selain hanya
Allah Ta’ala saja. Itulah sang penegak sholat.

sumber: sufinews

Dibalik Sholat

"Sholat itu tempat munajat dan sumber
pencerahan, di mana medan-medan rahasiaNya
meluas di dalamnya, dan pencahayaan jiwa
memancar di dalamnya." Sholat itu adalah
munajat para hamba kepada Allah swt.
Dalam sholat itulah sifat-sifat IndahNya
tampak bagi para hamba, dan bagaimana Allah
swt menjaga dan memelihara alam semesta.
Sang hamba meraih limpahan ma’rifat dan
ilmu-ilmu Ilahiyah.
Sholat itu pula menjadi tempat percintaan
hamba pada Allah swt dengan menghadapkan
dirinya kepadaNya secara total, lahir dan
batin, hingga meraih limpahan pencerahan
cahaya yang luar biasa. Menurut kadar
penerimaan hamba kepada Tuhannya, maka
sejauh itu pula Allah swt menerima kehadiran
hambaNya.
Dalam sholat pula, rahasia-rahasia meluas,
berupa pengetahuan dan ma’rifat yang
dahsyat, kemudian cahayanya memancar luas
dari buah munajat sang hamba.
Wacana hikmah inilah yang meneguhkan, bahwa
yang dituntut oleh Allah swt, adalah
menegakkan sholat, bukan wujudnya sholat.
Selanjutnya beliau berkata:
“Allah Maha Tahu akan lemahnya kekuatan
anda, maka Allah swt menimimalisir jumlahnya
sholat. Dan Allah swt, Maha Tahu betapa dirimu
sangat butuh pada karuniaNya, maka Allah swt,
memperbanyak anugerahNya (dibalik sholat).”
Jumlah sholat yang semula 50 kali,
diminimalisir oleh Allah swt, hanya dengan lima
kali, namun, karena seorang hamba berhasrat
pada pahala dan anugerahNya, maka lima kali
sholat itu sama dengan lima puluh kali.

sumber : sufinews

Masihkah Anda Menuntut Alloh ?

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Sepanjang anda menuntut balasan atas amal
anda, maka anda pun dituntut agar benar dalam
amaliyah itu sendiri. Maka cukuplah bagi orang
yang masih ragu atas
balasan Allah, bahwa ia dapatkan keselamatan
dari siksa.”
Apabila Allah swt, hendak menampakkan
anugerah keutamaanNya padamu, maka Allah
menciptakan amal bagimu, dan mengaitkan amal
itu kepadamu.
Yakni, Allah menciptkana kemampuan untukmu
untuk beramal dan beribadah dan memberikan
pertolongan agar dirimu menuju kepadaNya,
bahkan mengembalikan amaliyah itu kepadamu.
Allah swt, menciptakan ta’at, dan mengaitkan
taat itu kepada kita, memberi pahala kepada
kita, padahal seseungguhnya itu tidak layak
bagi kita.
Anugerah luar biasa, bagaimana sampai Allah
swt, memberikan anugerah itu, seakan-akan
itu amal baik dan taat kita, padahal itu semua
ciptaan Allah Ta’ala pada kita, bukan ciptaan
kita, bukan kreasi dan ikhtiar kita.
Disinilah Ibnu Athaillah as-Sakandary
mengingatkan:
“Tak habis-habisnya engkau mencaci dirimu,
manakala semua itu dikembalikan padamu. Dan
tidak habis-habisnya pujianmu manakala Allah
swt, itu menampakkan kemurahanNya
kepadamu.”
Sebab, diri kita, ditinjau dari eksistensi kita
yang asli, tak lebih dari wujud kekurangan,
wujud keragu-raguan, wujud kehinaan dan
wujud kefakiran. Sedangkan jika dipandang
dari segi anugerahNya keada kita, maka
segalanya adalah wujud kebajikan dan
keutamaan.
Begitu pula kelak di akhirat, manakala yang
muncul adalah diri kita, maka kita berada
dalam timbangan KeadilanNya, lalu menjadi
wajar kalau KeadilanNya yang tampak, justru
kita semua masuk neraka, apa pun amal dan
ibadah yang kita lakukan. Karena dosa itu,
sebesar apa pun sesungguhnya bukan menjadi
penyebab seseorang masuk neraka. Manusia
masuk neraka karena keadilanNya. Dan jika
KeadilanNya yang tampil, maka seluruh
kebaikan kita tak berartri, karena
sesungguhnya buila ditimbang dengan
KeadilanNya, amal perbuatan kita, ternyata
bukan dari diri kita, bukan produksi dan
ciptaan kita, namun ciptaan Allah swt,
kehendakNya dan KuasaNya.
Sebaliknya bila yang dimunculkan adalah
Anugerah dan RahmatNya, maka seluruh amal
kita yang tampak adalah enugerah Ilahi semua,
dan disanalah tiket ke syurga, karena anugerah
dan rahmatNya pastilah menyertai perjalanan
kita menuju Allah swt. Segala apa pun yang
disadari karena bersamaNya, anugerah dan
rahmatNya, akan menjadi mudah. Dan
sebaliknya apa pun mudahnya kalau kita hanya
bersama diri kita, mengandalkan diri dan amal
perbuatan kita, pastilah gagal dan mengamali
kesulitan luar biasa.

sumber: sufinews

Alloh Menampakkan Anugrahnya

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
'Apabila Allah swt, hendak menampakkan
anugerah keutamaanNya padamu, maka Allah
menciptakan amal bagimu, dan mengaitkan amal
itu kepadamu."
Yakni, Allah menciptkan kemampuan
untukmu untuk beramal dan beribadah dan
memberikan pertolongan agar dirimu menuju
kepadaNya, bahkan mengembalikan amaliyah itu
kepadamu. Allah swt, menciptakan ta’at, dan
mengaitkan taat itu kepada kita, memberi
pahala kepada kita, padahal seseungguhnya itu
tidak layak bagi kita.
Anugerah luar biasa, bagaimana sampai Allah
swt, memberikan anugerah itu, seakan-akan
itu amal baik dan taat kita, padahal itu semua
ciptaan Allah Ta’ala pada kita, bukan ciptaan
kita, bukan kreasi dan ikhtiar kita.
Di sinilah Ibnu Athaillah as-Sakandary
mengingatkan:
“Tak habis-habisnya engkau mencaci dirimu,
manakala semua itu dikembalikan padamu. Dan
tidak habis-habisnya pujianmu manakala Allah
swt, itu menampakkan kemurahanNya
kepadamu.”
Sebab, diri kita, ditinjau dari eksistensi kita
yang asli, tak lebih dari wujud kekurangan,
wujud keragu-raguan, wujud kehinaan dan
wujud kefakiran. Sedangkan jika dipandang
dari segi anugerahNya keada kita, maka
segalanya adalah wujud kebajikan dan
keutamaan.
Begitu pula kelak di akhirat, manakala yang
muncul adalah diri kita, maka kita berada
dalam timbangan KeadilanNya, lalu menjadi
wajar kalau KeadilanNya yang tampak, justru
kita semua masuk neraka, apa pun amal dan
ibadah yang kita lakukan. Karena dosa itu,
sebesar apa pun sesungguhnya bukan menjadi
penyebab seseorang masuk neraka. Manusia
masuk neraka karena keadilanNya. Dan jika
KeadilanNya yang tampil, maka seluruh
kebaikan kita tak berarti, karena sesungguhnya
bila ditimbang dengan KeadilanNya, amal
perbuatan kita, ternyata bukan dari diri kita,
bukan produksi dan ciptaan kita, namun ciptaan
Allah swt, kehendakNya dan KuasaNya.
Sebaliknya bila yang dimunculkan adalah
Anugerah dan RahmatNya, maka seluruh amal
kita yang tampak adalah enugerah Ilahi semua,
dan di sanalah tiket ke syurga, karena
anugerah dan rahmatNya pastilah menyertai
perjalanan kita menuju Allah swt. Segala apa
pun yang disadari karena bersamaNya,
anugerah dan rahmatNya, akan menjadi mudah.
Dan sebaliknya apa pun mudahnya kalau kita
hanya bersama diri kita, mengandalkan diri dan
amal perbuatan kita, pastilah gagal dan
mengamali kesulitan luar biasa.

sumber: sufinews

Yang Penting Justru Adab

"Yang terpenting bukannya tercapainya apa
yang engkau cari, tetapi yang penting adalah
engkau dilimpahi rizki adab yang baik"
Dalam ajaran thariqat Sufi, adalah yang
terpenting bukannya tercapainya apa yang
engkau cari, tetapi yang penting adalah engkau
dilimpahi rizki adab
yang baik terwujudnya apa yang diinginkan
(sukses), tetapi lebih penting dari itu semua
kita dikaruniai adab yang bagus. Baik adab
dengan Allah, adab dengan Rasulullah saw, adab
dengan para Syeikh, para Ulama, adab dengan
sahabat, keluarga, anak dan isteri, dan adan
dengan sesama makhluk Allah Ta'ala.
Apa yang ada di sisi Allah swt, tidak bisa
diraih dengan berbagai upaya sebab akibat,
namun kita harus mewujudkan adab yang baik
di hadapanNya, karena dengan adab itulah
ubudiyah akan terwujud. Allah swt, berfirman:
"Agar Allah menguji mereka, manakah diantara
mereka yang terbaik amalnya." (Al-Kahfi: 7),
Allah tidak menyebutkan bahwa yang terbaik
itu adalah yang terbanyak suksesnya, juga
bukan yang terbaik adalah raihan besarnya.
Rasulullah saw, bersabda: "Taqwalah kepada
Allah dimana pun engkau berada, dan ikutilah
keburukan itu dengan kebajikan, sehingga
keburukan terhapus. Dan bergaullah dengan
sesama manusia dengan akhlak yang baik." (Hr.
Imam Ahmad, dan At-Tirmidzy).
Seluruh proses adab itu adalah menuju
keserasian dengan sifat-sifatNya, dan inilah
yang disebutkan selanjutnya oleh Ibnu
Athaillah:
"Tak ada yang lebih penting untuk anda cari
disbanding rasa terdesak, dan tidak ada yang
lebih mempercepat anugerah padamu ketimbang
rasa hina dan rasa faqir padaNya."
Sikap terdesak, hina, fakir, itulah yang
membuat anda terus kembali kepada Allah swt
tanpa sedikit pun faktor yang menyebabkan
rasa tersebut muncul. Dan sebaik-baik waktu
tentu saja, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Atyhaillah dalam Al-Hikam pula adalah waktu
dimana anda menyaksikan sifat butuh anda
kepada Allah, dan dikembalikan pada wujud
hinamu di hadapanNya.
Para sufi sering bersyair:
Adab sang hamba adalah rasa hinanya
Sang hamba tak pernah meninggalkan adab
Sang hamba jika sempurna rasa hinanya
Sang hamba meraih cinta dan kedekatannya.
Hajat manusia bertingkat-tingkat, Ada hajat
dunianya, ada hajat akhiratnya, ada hajat
meraih anugerahNya, ada hajat hanya kepada
Allah swt, saja.
Tentu hajat tertinggi adalah menuju dan
wushul kepada Allah Ta'ala, dan itu semua
harus diraih dengan rasa butuh yang sangat,
rasa hina dan fakir. Kepada Allah ta'ala.
Pernah dikatakan kepada Abu Yazid,
"Pekerjaanmu senantiasa dipenuhi dengan rasa
bakti, bila engkau menghendakiKu maka engkau
harus datang dengan rasa hina dan butuh."
Diantara makna berguna dari rasa butuh itu
adalah:
1) Rasa berpaling dari makhluk Allah Ta'ala
secara total,
2) Menghadap Allah dengan total pula,
3) Sang hamba berhenti di batasNya tanpa
membuat pengakuan sedikit pun.
Tiga hal yang merupakan jumlah kebajikan dan
kesempurnaan.

sumber : sufinews

Dibalik Proses Wushul

"Seandainya saja anda tidak sampai (wushul)
padaNya, kecuali harus melalui sirnanya
keburukan-keburukan anda, dan terhapusnya
klaim-klaim anda, maka anda pasti tidak akan
pernah sampai kepadaNya selama-lamanya.
Namun, apabila Allah Ta'ala hendak
mewushulkan dirimu padaNya, maka Allah
menutupi sifatmu dengan SifatNya, dan menirai
karaktermu dengan KarakterNya. Maka Wushul
anda kepadaNya, adalah karena dari Dia
kepadamu, bukan dari dirimu kepadaNya."
Wushul kepada Allah adalah mengenal Allah dan
segala hal dirinya berada dalam liputan Ilahi.
Namun bila Allah hendak mewushulkan anda,
Allah Ta'ala menutupi dan menirai sifat-sifat
anda, dengan Sifat-sifat Allah Ta'ala, dengan
jalan Allah menfanakan anda dan mentajalikan
Baqo' Nya, dan semua itu tidak akan terjadi
manakala tidak ada kematian nafsu, pengkasan
ego kepala, dan penyerahan ruh, dan
menyerahkan segala hal yang bersifat duniawi.
Namun tidak satu pun bisa sempurna, tak satu
pun mampu menmbersihkan dirinya secara
total, bahkan seorang hamba tidak akan bisa
membuang klaim-klaim alam ruhaninya, kecuali
melalui pertolongan Allah Azza wa Jalla. Dan
seluruh proses penfanaan itu adalah bukan
perbuatan hamba atau upaya si hamba. Syeikh
Abul Hasan Asy-Syadzily menegaskan,
"Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah
Ta'ala manakala dalam dirinya masih ada
syahwat, atau masih ada keinginan mengatur
dan keinginan berupaya." Seseorang tidak bisa
sampai kepada Allah Ta'ala dengan "aku"nya,
dengan "diri"nya.
Semua karena fadhal dan rahmatnya Allah swt.
Karena itu kita harus terus menerus
bergantung dengan Allah swt, bergantung
dengan Sifat-sifatNya dengan meleburkan diri,
sirna dan fana kepadaNya, namun semua itu
akan gagal manakala tidak mendapatkan
pertolongan dari Allah Ta'ala. Maka, di
masyarakat kita, banyak orang mengaku
wushul, banyak orang merasa telah ma'rifat,
banyak orang merasa telah sampai kepada
Allah Ta'ala, padahal jangankan bisa sampai
kepada Allah, untuk membuang klaim dirinya
bisa begini dan begitu saja, manusia tidak
mampu. Allah Ta'ala lah yang bisa
menenggelamkan kefakiran anda dalam Maha
CukupNya, menghapus kelemahan anda dalam
Maha KuatNya, ketakberdayaan anda dalam
Maha KuasaNya, rasa hina anda dalam Maha
MulyaNya. Semua karena Allah Ta'ala jua.
Bukan karena diri anda, amal anda, perjuangan
anda, ikhtiar anda. Bukan itu semua.

sumber : sufinews

Kenapa Amalan diterima ?

“Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah
swt, maka tak satu pun amal
diterima.”Kenapa demikian? Sebab nafsu
manusia senantiasa kontra dengan kebajikan,
oleh sebab itu jika mempekerjakan nafsu,
haruslah dikekang dari sifat atau karakter
aslinya.
Dalam firmanNya: “Siapa yang yang menjaga
nafsunya, maka mereka itulah orang-orang
yang menang dan bahagia.”(Al-Hasyr 9)
Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah,
sedangkan nafsu itu dasarnya adalah cacat,
maka yang terproduksi nafsu dalam beramal
senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai
sempurna, nafsu masih terus meminta imbal
balik, dan menginginkan tujuan tertentu,
sedangkan amal itu inginnya malah ikhlas. Jadi
seandainya sebuah amal diterima semata-
mata bukan karena amal ansikh, tetapi karena
karunia Allah Ta’ala pada hambaNya, bukan
karena amalnya.
Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan,
“Seandainya Allah menuntu ikhlas, maka
semua amal mereka sirna. Bila amal mereka
sirna, rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala
semakin bertambah, lalu mereka pun melakukan
pembebasan dari segala hal selain Allah swt,
apakah berupa kepentingan mereka atau
sesuatu yang diinginkan mereka.”
Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt,
ketika anda sedang melakukian taat, dibanding
rasa butuh belas kasihNya ketika anda
melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia
memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala
justru ketika ia menghadapi maksiat, dan
merasa aman ketika bisa melakukan taat
ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan
manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang
taat. Karena ketika sedang taat, para hamba
sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya
seseorang terjebak dalam ghurur, atau
tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.
Rasulullah saw, bersabda:
“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada
salah seorang Nabi dari para NabiNya:
“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang
tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka
tertimpa tipudaya. Sebab Aku, bila
menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu
kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka,
tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan
katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa,
janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada
dosa besar bagiKu manakala Aku
mengampuninya.”
Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan:
“Taubat dari maksiat bisa sekali selesai,
tetapi taubat karena taat bisa seribu kali
pertaubatan.”
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya
dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat
itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat
sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan
dosa dan hijab antara lain:
1. Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada
Sang Pencipta amal.
2. Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa
yang menggerakkan amal itu bukan dirinya,
tetapi Allah swt.
3. Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak
tuntutan dibalik amalnya.
4. Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik
amal, lupa pada tujuan amalnya.
5. Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding
orang yang belum melakukan amaliyah seperti
dirinya.
6. Seseorang akan kehilangan kehambaannya,
karena merasa paling banyak amalnya.
7. Iblis La’natullah terjebak dalam
tipudayanya sendiri, karena merasa paling
hebat amal ibadahnya.
8. Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan
umunya orang.
9. Yang diinginkan adalah karomah-karomah
amal.
10. Ketika amalnya diotolak ia merasa amalnya
diterima.

sumber: sufinews

Jebakan Imajenasi Semu

“Tak satupun wujud yang bisa menutupi
Allah, karena sesungguhnya tidak satu pun yang
menyertaiNya. Bahwa sesungguhnya anda
tertutup dari Allah disebabkan oleh imajinasi
(seakan) ada wujud yang menyertaiNya.”
“Tak satupun wujud yang bisa menutupi
Allah, karena sesungguhnya tidak satu pun yang
menyertaiNya. Bahwa sesungguhnya anda
tertutup dari Allah disebabkan oleh imajinasi
(seakan) ada wujud yang menyertaiNya.”
Adanya imajinasi wujud selain Allah membuat
anda lebih sibuk dengan wujud semu itu,
berupa dunia seisinya dengan segala
masalahnya, secara tidak langsung maupun
langsung, anda telah terjebak seakan-akan
wujud semu itu yang mengancam dan memberi
manfaat bagi kehidupan anda, sehingga anda
pun terhijab dari Allah azza wa-Jalla.
Padahal wujud itu hakikatnya tidak ada, yang
berhak punya sifat Wujud hanyalah Allah swt.
Dalam kitab Lathaiful Minan, karya lain Ibnu
Athaillah digambarkan, “ketika melihat wujud
semesta ini, anda melihat adanya bayangan
dengan mata kepala. Padahal bayangan itu
sesungguhnya tidak ada jika ditinjau dari
struktur wujud itu sendiri, tetapi juga tidak
bisa disebut tidak ada, jika dilihat dari
struktur ketiadaan.
Dengan demikian bayangan semesta itu tidak
bisa menghapus yang empunya bayang. Karena
sesuatu itu menyerupai padanannya dan
terkumpul dalam bentuknya. Begitu pula yang
menyaksikan sifat bayangan alam tidak bisa
menghalangi Allah swt, sebagaimana bayangan
pohon di siang hari tidak menghalangi lajunya
kapal untuk berjalan.
Dari sinilah jelas bahwa tirai atau tutup itu
bukan sebagai wujud yang menghadang antara
diri anda dengan Allah Ta’ala. Apabila hijab
itu memiliki sifat wujud antara diri anda
dengan Allah Ta’ala, pastilah wujud tadi lebih
dekat dibanding Allah Ta’ala, padahal tak satu
pun yang lebih dekat padamu dibanding Allah
Ta’ala. Maka hakikat hijab itu sesungguhnya
kembali pada imajinasi tentang adanya hijab
itu sendiri.”
Beliau melanjutkan, bahwa dengan memandang
SifatNya, segala makhluk akan terliputinya:
“Apabila Sifat-sifatNya tampak, maka
seluruh semesta ini akan tersirnakan. Kalaulah
bukan tampakNya dibalik semesta ciptaanNya,
mata hati tak pernah bisa memandangnya.”
Dapat disebutkan, tidak ada ketetapan pada
makhluk dengan munculnya efek dari Allah
Ta’ala. “Sungguh mengherankan, bagaimana
bisa wujud menjadi tampak dalam ketiadaan?
Atau bagaimana bisa ada sesuatu yang baru
bersanding dengan Dzat yang punya sifat Maha
Dahulu?”, begitu disebut oleh Ibnu Athaillah
pada hikmah-hikmah terdahulu.
Kalaulah bukan karena pengaruh Sifat-
sifatNya yang diyakini dengan ilmu dan
dikhususnya dengan IrodahNya dan dimunculkan
melalui KuasaNya, maka tak ada yang tampak
sama sekali, baik oleh mata kepala maupun
mata hati. Yang Dzohir berarti adalah sifat-
sifatNya. Bila memandang pada yang lain dari
Sifat itu, akan terjebak pada imajinasi-
imajinasi yang dibatasi rupa, tanpa kembali ke
hakikatnya yang bisa menghapus imajinasi
semu tadi. (Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-
Sakandary)

sumber: sufinews

Riya'

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
Syeikh Ibnu Ajibah al-Hasany dalam syarah
Al-Hikam mengatakan, bahwa riya’ itu
bermakna sebagai pencarian posisi di tengah
publik, melalui amalnya yang saleh. Apakah
amal itu terlihat jelas atau tersembunyi.
Bahkan riya’ itu sering merasuki amal-amal
yang tersembunyi, ketika tak seorang pun
memandang anda. Dan ini sangat sulit, karena
lebih rumit dibanding lubang semut.
Sebagian kaum ‘arifin menegaskan, “Aku
berusaha membuang riya’ dalam hatiku dalam
setiap rekayasa, dari berbagai arah, hingga
saya meraih dari sisi lain yang tak pernah
kuduga.”
Sebagian mengatakan, “Diantara riya’ paling
besar adalah apabila seseorang memandang
pemberian, penggagalan, bahaya dan manfaat
itu datangnya dari makhluk.”
Salah satu Sufi menegaskan, Riya’ terbagi
tiga. Semuanya merupakan penyakit agama.
Yang pertama, adalah penyakit terbesar, yaitu
beramal atau beribadah demi pandangan
makhluk, jika tidak ada mereka, ia tidak
melakukannya.
Kedua, melakukan amaliyah untuk pujian,
walaupun orang lain tidak tahu.
Ketiga, melakukan amaliah untuk Allah Azza
wa-Jalla, dan berharap amalnya itu bisa
meraih pahala dan menghilangkan siksa.
Walaupun kategori yang ketiga ini dianggap
bagus, namun menurut kalangan ‘Arifin
tergolong riya’, walaupun menurut awam
publik dikategorikan ikhlas.
Orang yang selamat lahir batinnya dari riya’
justru tidak punya kepentingan duniawi maupun
ukhrowi, semata karena Allah Swt.
Tanda-tanda jika anda tergolong riya’, ada
tiga hal:
Sangat bersemangat ketika banyak orang, dan
malas ketika tidak ada orang.
Amal itu terasa mantap ketika dilihat orang
lain, dan ia meremehkan jika yang memandang
hanya Allah Swt.
Dalam hatinya ada rasa dihargai oleh orang
lain, dan dibantu kebutuhannya oleh orang lain.
Bila haknya tidak dipenuhi oleh seseorang ia
menjauhinya dan mengingkarinya. Kemudian
terjadi pemisahan jarak antara kehormatan
dirinya dan penghormatan pada orang lain, hina
dirinya dengan penghinaan terhadap orang lain.
Bila menghadapi orang yang lemah akalnya, ia
mengancam, agar siksa Allah segera turun
pada mereka. Allah tidak akan menolongnya
jika tidak minta tolong melalui dirinya dan
mengikuti pengaruhnya.
Jika ada seorang sufi memiliki tiga tanda di
atas, ketahuilah bahwa ia tergolong orang yang
riya’.
Dalam riwayat dari Sayyidina Ali KW, bahwa
Allah Swt berfirman kepada para Sufi
(fuqoro’) di hari qiyamat nanti, “Bukankah
kalian sudah menguruskan diri? Bukankah
kalian sudah bergegas dengan ucapan salam?
Bukankah kalian telah dipenuhi kebutuhan kalian
(di dunia)?”
Dan semua itu diakibatkan oleh riya’.
Sehingga dalam hadits disebutkan, “Kalian
tidak mendapatkan lagi pahala. Karena pahala
(upah) kalian sudah ditunaikan (di dunia).”
Ini bermakna, bahwa orang beribadah hanya
mencari kepentingan duniawi.

sumber: sufinews

Syeh Ibnu Athoillah As-Sakandary

Jadilah dirimu bergantung pada Sifat-
sifat Rububiyah, dan jadilah dirimu
mewujudkan sifat-sifat 'ubudiyah"
Kebergantungan terhadap Sifat-sifat
Rububiyahnya Allah swt, merupakan
perwujudan kehambaan ('ubudiyah), sehingga
sang hamba merasakan fana’nya diri dalam
perwujudan kehambaannya. Sifat-sifat
Rububiyah yang dijadikan gantungan hamba itu
adalah: Sifat Maha Cukup nan Kaya; Sifat Maha
Mulia; Sifat Maha Kuasa dan Maha Kuat. Maka
dengan Sifat-sifat Rububiyah tersebut,
muncullah respon 'Ubidyah atau kehambaannya,
yang menjadi kebalikan dari Sifat Rububiyah.
Yaitu, sifat faqir, sebagai respon terhadap
Maha Cukupnya Allah, sifat hina-dina, sebagai
respon hamba terhadap Sifat Maha MuliaNya,
dan sifat tak mampu hamba sebagai respon
sifat Maha KuasaNya, serta sifat lemah hamba
merupakan respon agar bergantung pada Maha
KuatNya.
Dalam proses interaksi antara Ubudiyah dan
Rububiyah tersebut, seorang hamba kadang-
kadang mengalami dua situasi yang berbeda.
Terkadang yang muncul adalah Sifat Maha Kaya
dan Maha Cukupnya Allah dalam pandangan
hamba, terkadang yang muncul adalah sifat
fakirnya si hamba kepada Allah swt.
Apabila yang muncul adalah sifat fakirnya si
hamba kepada Allah swt, maka sang hamba
haruslah kembali untuk berselaras dengan adab
Pertama: Posisi dalam keleluasaan dan dan
kemuliaan.
Kedua: Posisi adab dan pengagungan.
Rasulullah saw, pernah memberikan seribu sho'
untuk menujukkan betapa Allah Maha Cukup nan
Kaya, di satu sisi pun beliau mengikat batu di
perutnya untuk menunjukkan sifat butuhnya
kepada Allah swt. Pada kondisi pertama beliau
menunjukkan betapa butuhnya manusia kepada
Allah swt, dan kedua, untuk mendidik
ummatnya.
Sepanjang manusia tidak memiliki rasa fakir,
hina, tak berdaya, dan lemah, lalu dirinya
merasa cukup, mulia, hebat, kuasa dan kuat,
maka ia telah terhijab dari Sifat rububiyahnya
Allah swt. Dan orang tersebut akan terlempar
dari sifat kehambaanya, kemudian jadilah ego
dan kesombongannya menguat.
Iblis dan Firaun adalah representasi "keakuan"
paling fenomenal yang muncul kekuatannya dari
kegelapan. Sifat "keakuan" yang sering
dieksplorasi untuk pendidikan manusia modern,
pendidikan yang menggiring manusia agar
muncul dan eksistensial, sehingga lahir
kekuatan-kekuatan adidaya manusia. Dan
ketika kekuatan itu benar-benar muncul
jadilah dirinya sebagai neo-Iblisian dan
Firaunan.

sumber: sufinews

Syeh Ibnu Athoillah As-Sakandary

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary.
“Tak ada sahabat sejatimu kecuali dia yang
paling tahu aibmu, dan tidak ada (sahabat
seperti itu) kecuali Tuhanmu Yang Maha
Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang
menuntutmu, tetapi sama sekali tuntutan itu
tidak ada kepentingannya darimu untuk-nya.”
Tak ada yang lebih tahu aib kita secara detil
dan rinci melainkan Allah swt, karena Dia-lah
yang tak pernah meninggalkan anda ketika anda
dalam kondisi hina dan tidak menolak anda
ketika anda dalam kondisi sangat kurang,
bahkan senantiasa mengasihi anda dalam
situasi apa pun.
Pada saat begitu Dia memerintahkan anda dan
melarang anda, namun anda maksiat pada-Nya,
namun Dia tidak meninggalkan anda, bahkan
dengan rasa belas kasih-Nya Dia memanggilmu
untuk datang kepada-Nya di saat anda alpa.
Namun jika yang tahu aib anda secara detil itu
adalah makhluk, maka para makhluk pun justru
meninggalkan anda dan melempari anda atas
perbuatan anda selama ini. Namun Allah Swt
dengan segala cinta dan kasih sayang-Nya
senantiasa malah menjaga anda. Namun yang
menyadari itu sangat sedikit.
Allah Swt tidak pernah meminta imbal balik
kita dibalik perlindungan, perintah, tuntutan
dan larangan-Nya. Sedangkan pergaulan dan
persahabatan dengan makhluk penuh dengan
tuntutan dan kepentingan. Maka sahabat sejati
sesungguhnya yang menyadarkan kepentingan
yang kembali pada diri kita, hal-hal yang
berguna maupun hal-hal mana yang berbahaya.
Namun rasa yaqin yang rendah dan lemah
membuat anda terhijab dari semua itu. Karena
itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Seandainya cahaya yaqin memancar, pasti
anda melihat akhirat lebih dekat padamu
dibanding anda menempuhnya. Dan sungguh anda
memandang keindahan dunia tak lebih dari
reruntuhan fana yang tampak padanya.”
Dunia hanyalah khayal dalam wujudnya, apabila
anda benar-benar tercerahi oleh cahaya yaqin.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ra menegaskan,
“Yaqin adalah nur yang dijadikan Allah swt
dalam hati hamba-Nya, hingga ia melihat
perkara akhiratnya dan cahaya itu membakar
semua hijab antara Dia dan dirinya, sampai
akhirat tampak begitu jelas dalam
perspektifnya.”
Suatu hari Rasulullah Saw, bertanya kepada
Haritsah ra, “Apa kabarmu pagi ini wahai
Haritsah?”
“Saya dalam kondisi beriman yang benar,”
jawab Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Setiap kebenaran
ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?”
“Seakan-akan saya berada di Arasy Tuhanku
benar-benar ditegakkan dan saya melihat ahli
syurga sedang menikmati nikmat-nikmat-Nya
di syurga dan ahli neraka sedang saling minta
pertolongan,” kata Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Kamu sedang
mengenal maka teguhlah. Seorang hamba yang
qalbunya dicerahi cahaya oleh Allah….” (Al-
Hadits).
Rasulullah saw, pernah bersabda, “Bila
cahaya masuk dalam hati, maka hati akan
lapang…”
Rasul saw, ditanya, “Wahai Rasulullah apakah
ada tanda untuk mengenal itu?”
Beliau menjawab, “Merasa kosong di negeri
tipudaya dan kembali pada negeri keabadian,
serta mempersiapkan bekal mati sebelum
waktunya tiba…”

sumber: sufinews

Syeh Ibnu Athoillah As-Sakandary

“Apabila anda ingin Allah swt membuka pintu
harapan padamu, maka lihatlah apa yang
dianugerahkan dariNya kepadamu. Dan apabila
anda ingin Allah membuka pintu kesedihan
padamu, maka lihatlah apa yang engkau lakukan
bagiNya.” Harapan dan kesedihan, adalah dua
hal yang terus berdampingan. Karena adanya
harapanlah, seseorang mulai optimis dan
terbuka masa depannya. Khususnya masa depan
dengan Sang Pencipta.
Namun, sepanjang yang disebut harapan,
semata juga karena dibuka oleh Allah swt,
berupa kepatuhan dan ketaatan kita. Apa pun
yang dari Allah swt, senantiasa membuka
harapan kita, karena seluruh ketaatan kita,
kebajikan kita, semuanya dari Allah, bukan
dari diri kita.
Namun juga sebaliknya, bila kita mengingat apa
yang ada pada kita berupa kontra dengan Allah
Swt, kemaksiatan dan dosa-dosa kita, pastilah
kita akan sedih dan duka. Bahkan kalau toh kita
menengok masa lalu kita, kita tetap saja sedih,
karena apa yang kita berikan kepadaNya, tak
ada apa-apanya, apalagi jika dibanding yang
yang datang dari Allah swt kepada kita.
Oleh sebab itu beliau melanjutkan:
“Kadang-kadang Allah memberikan makna
guna kepadamu dalam kelamnya Qobdh
(Genggaman Ilahi yang mencekam), yang tidak
anda dapatkan maknanya ketika anda dalam
suasana kelapangan siang hari (seperti siang
yang terang).”
Betapa seringnya kita raih hikmah-hikmah
yang menghantar kita untuk taqarrub
kepadanya dibalik cobaan yang mencekam, yang
kita tidak dapatkan ketika kita diberi
kelapangan dada, kemudahan dan kesehatan dan
murahnya rizki anda.
Disinilah para ‘arifun lebih memilih meraih
Qabdhnya Allah dibanding suasana lapang dan
mudah dariNya. Sebab betapa seringnya orang
tergelincir karena kemudahan dan kelapangan.
Sedangkan ketika diberi cobaan, hatinya remuk
redam dalam sikap ubudiyah kepadaNya, penuh
rasa hina dina, fakir, tak berdaya dan lemah.

sumber: sufinews