Minggu, 20 November 2011

Syeh Ibnu Athoillah As-Sakandary

“Apabila anda ingin Allah swt membuka pintu
harapan padamu, maka lihatlah apa yang
dianugerahkan dariNya kepadamu. Dan apabila
anda ingin Allah membuka pintu kesedihan
padamu, maka lihatlah apa yang engkau lakukan
bagiNya.” Harapan dan kesedihan, adalah dua
hal yang terus berdampingan. Karena adanya
harapanlah, seseorang mulai optimis dan
terbuka masa depannya. Khususnya masa depan
dengan Sang Pencipta.
Namun, sepanjang yang disebut harapan,
semata juga karena dibuka oleh Allah swt,
berupa kepatuhan dan ketaatan kita. Apa pun
yang dari Allah swt, senantiasa membuka
harapan kita, karena seluruh ketaatan kita,
kebajikan kita, semuanya dari Allah, bukan
dari diri kita.
Namun juga sebaliknya, bila kita mengingat apa
yang ada pada kita berupa kontra dengan Allah
Swt, kemaksiatan dan dosa-dosa kita, pastilah
kita akan sedih dan duka. Bahkan kalau toh kita
menengok masa lalu kita, kita tetap saja sedih,
karena apa yang kita berikan kepadaNya, tak
ada apa-apanya, apalagi jika dibanding yang
yang datang dari Allah swt kepada kita.
Oleh sebab itu beliau melanjutkan:
“Kadang-kadang Allah memberikan makna
guna kepadamu dalam kelamnya Qobdh
(Genggaman Ilahi yang mencekam), yang tidak
anda dapatkan maknanya ketika anda dalam
suasana kelapangan siang hari (seperti siang
yang terang).”
Betapa seringnya kita raih hikmah-hikmah
yang menghantar kita untuk taqarrub
kepadanya dibalik cobaan yang mencekam, yang
kita tidak dapatkan ketika kita diberi
kelapangan dada, kemudahan dan kesehatan dan
murahnya rizki anda.
Disinilah para ‘arifun lebih memilih meraih
Qabdhnya Allah dibanding suasana lapang dan
mudah dariNya. Sebab betapa seringnya orang
tergelincir karena kemudahan dan kelapangan.
Sedangkan ketika diberi cobaan, hatinya remuk
redam dalam sikap ubudiyah kepadaNya, penuh
rasa hina dina, fakir, tak berdaya dan lemah.

sumber: sufinews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar