Minggu, 20 November 2011

Syeh Ibnu Athoillah As-Sakandari Al Judzami Al-Makki Asy-Syadzili

Kelahiran dan keluarganya
Biografi Syekh
Ibnu Athoillah
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup
populer di negeri kita ini adalah
Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin
Muhammad bin Abd al-Karim bin
Athoillah
al-Sakandari al-Judzami al-Maliki
al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa
Arab.
Nenek moyangnya berasal dari Judzam
yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang
berujung pada Bani Yastrib bin Qohton,
bangsa Arab yang terkenal dengan
Arab
al-Aribah. Kota Iskandariah
merupakan kota kelahiran sufi besar
ini.
Suatu tempat di mana keluarganya
tinggal dan kakeknya mengajar.
Kendatipun
namanya hingga kini demikian harum,
namun kapan sufi agung ini dilahirkan
tidak ada catatan yang tegas. Dengan
menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani
bisa menengarai bahwa ia dilahirkan
sekitar tahun 658 sampai 679
H.
Ayahnya termasuk semasa dengan
Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -
pendiri
Thariqah al-Syadziliyyah-
sebagaimana diceritakan Ibnu Athoillah
dalam kitabnya
Lathoiful Minan Ayahku bercerita
kepadaku, suatu ketika aku menghadap
Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu
aku mendengar beliau mengatakan:
“Demi Allah, kalian telah menanyai
aku tentang suatu masalah yang tidak
aku
ketahui jawabannya, lalu aku temukan
jawabannya tertulis pada pena, tikar
dan dinding.
Keluarga Ibnu Athoillah adalah keluarga
yang terdidik dalam lingkungan agama,
kakek dari jalur nasab ayahnya adalah
seorang ulama fiqih pada masanya.
Tajuddin remaja sudah belajar pada
ulama tingkat tinggi di Iskandariah
seperti al-Faqih Nasiruddin al-
Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah
pada
masa Ibnu Athoillah memang salah satu
kota ilmu di semenanjung Mesir,
karena
Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak
ulama dalam bidang fiqih, hadits,
usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu
saja juga memuat banyak tokoh-tokoh
tasawwuf dan para
Auliya’Sholihin.
Oleh karena itu tidak mengherankan
bila Ibnu Athoillah tumbuh sebagai
seorang faqih, sebagaimana harapan
dari kakeknya. Namun kefaqihannya
terus
berlanjut sampai pada tingkatan
tasawuf. Hal mana membuat kakeknya
secara
terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Athoillah menceritakan dalam
kitabnya Lathoiful minan Bahwa
kakeknya
adalah seorang yang tidak setuju
dengan tasawwuf, tapi mereka sabar
akan
serangan dari kakeknya. Di sinilah guru
Ibnu Athoillah yaitu Abul Abbas
al-Mursy mengatakan: “Kalau anak
dari seorang alim fiqih Iskandariah
(Ibnu
Athoillah) datang ke sini, tolong
beritahu aku”, dan ketika aku datang,
al-Mursi mengatakan: “Malaikat
jibril telah datang kepada Nabi
bersama
dengan malaikat penjaga gunung ketika
orang quraisy tidak percaya pada
Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu
menyalami Nabi dan mengatakan: ”
Wahai
Muhammad.. kalau engkau mau, maka
aku akan timpakan dua gunung pada
mereka”. Dengan bijak Nabi
mengatakan : ” Tidak,, aku mengharap
agar kelak
akan keluar orang-orang yang
bertauhid dan tidak musyrik dari
mereka”.
Begitu juga, kita harus sabar akan
sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu
Athoillah) demi orang yang alim fiqih
ini.
Pada akhirnya Ibn Atho’illah memang
lebih terkenal sebagai seorang sufi
besar.
Namun menarik juga perjalanan
hidupnya, dari didikan yang murni fiqh
sampai
bisa memadukan fiqh dan tasawuf.
Oleh karena itu buku-buku biografi
menyebutkan riwayat hidup Athoillah
menjadi tiga masa :
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di
Iskandariah sebagai pencari ilmu
agama seperti tafsir, hadits, fiqih,
usul, nahwu dan lain-lain dari para
alim ulama di Iskandariah. Pada
periode itu beliau terpengaruh
pemikiran-pemikiran kakeknya yang
mengingkari para ahli tasawwuf
karena
kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam
hal ini Ibnu Athoillah bercerita:
“Dulu aku adalah termasuk orang
yang mengingkari Abu al-Abbas al-
Mursi,
yaitu sebelum aku menjadi murid
beliau”. Pendapat saya waktu itu
bahwa
yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi
mereka (ahli tasawwuf) mengklaim
adanya hal-hal yang besar, sementara
dzahir syariat
menentangnya.
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling
penting dalam kehidupan sang guru
pemburu
kejernihan hati ini. Masa ini dimulai
semenjak ia bertemu dengan gurunya,
Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H,
dan berakhir dengan kepindahannya ke
Kairo. Dalam masa ini sirnalah
keingkarannya ulama’ tasawwuf.
Ketika
bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh
kagum dan simpati. Akhirnya ia
mengambil
Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia
beranjak memilih dunia tasawuf ini.
Suatu
ketika Ibn Atho’ mengalami
goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia
bertanya-tanya dalam hatinya :
“apakah semestinya aku membenci
tasawuf.
Apakah suatu yang benar kalau aku
tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?.
setelah lama aku merenung, mencerna
akhirnya aku beranikan diriku untuk
mendekatnya, melihat siapa al-Mursi
sesungguhnya, apa yang ia ajarkan
sejatinya. Kalau memang ia orang baik
dan benar maka semuanya akan
kelihatan. Kalau tidak demikian halnya
biarlah ini menjadi jalan hidupku
yang tidak bisa sejalan dengan
tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku
mendengar, menyimak ceramahnya
dengan
tekun tentang masalah-masalah
syara’. Tentang kewajiban,
keutamaan dan
sebagainya. Di sini jelas semua bahwa
ternyat al-Mursi yang kelak menjadi
guru sejatiku ini mengambil ilmu
langsung dari Tuhan. Dan segala puji
bagi
Allah, Dia telah menghilangkan rasa
bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka demikianlah, ketika ia sudah
mencicipi manisnya tasawuf hatinya
semakin tertambat untuk masuk ke
dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-
sampai
ia punya dugaan tidak akan bisa
menjadi seorang sufi sejati kecuali
dengan
masuk ke dunia itu secara total,
menghabiskan seluruh waktunya untuk
sang
guru dan meningalkan aktivitas lain.
Namun demikian ia tidak berani
memutuskan keinginannya itu kecuali
setelah mendapatkan izin dari sang
guru
al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah
menceritakan : “Aku menghadap
guruku al-Mursi,
dan dalam hatiku ada keinginan untuk
meninggalkan ilmu dzahir. Belum
sempat
aku mengutarakan apa yang terbersit
dalam hatiku ini tiba-tiba beliau
mengatakan : “Di kota Qous aku
mempunyai kawan namanya IbnuNaasyi.
Dulu
dia adalah pengajar di Qous dan
sebagai wakil penguasa. Dia merasakan
sedikit manisnya tariqah kita.
Kemudian ia menghadapku dan
berkata :
“Tuanku, apakah sebaiknya aku
meninggalkan tugasku sekarang ini dan
berkhidmat saja pada tuan?”. Aku
memandangnya sebentar kemudian aku
katakan
: “Tidak demikian itu tariqah kita.
Tetaplah dengan kedudukan yang sudah
di
tentukan Allah padamu. Apa yang
menjadi garis tanganmu akan sampai
padamu
juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang
sebetulnya adalah nasehat untuk diriku
beliau berkata: Beginilah keadaan
orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka
sama
sekali tidak keluar dari suatu
kedudukan yang sudah ditentukan Allah
sampai
Dia sendiri yang mengeluarkan
mereka”. Mendengar uraian panjang
lebar
semacam itu aku tersadar dan tidak
bisa mengucapkan sepatah katapun.
Dan
alhamdulillah Allah telah menghapus
angan kebimbangan yang ada dalam
hatiku, sepertinya aku baru saja
melepas pakaianku. Aku pun rela
tenang
dengan kedudukan yang diberikan oleh
Allah”.
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan
Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo.
Dan berakhir dengan kepindahannya ke
haribaan Yang Maha Asih pada tahun
709
H. Masa ini adalah masa kematangan
dan kesempurnaan IbnuAthoillah dalam
ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia
membedakan antara Uzlah dan
kholwah. Uzlah
menurutnya adalah pemutusan
(hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir
dengan
makhluk, yaitu dengan cara si Salik
(orang yang uzlah) selalu mengontrol
dirinya dan menjaganya dari perdaya
dunia. Ketika seorang sufi sudah
mantap
dengan uzlah-nya dan nyaman dengan
kesendiriannya ia memasuki tahapan
khalwah. Dan khalwah dipahami dengan
suatu cara menuju rahasia Tuhan,
kholwah adalah perendahan diri
dihadapan Allah dan pemutusan
hubungan
dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Athoillah, ruangan yang
bagus untuk ber-khalwah adalah yang
tingginya, setinggi orang yang
berkhalwat tersebut. Panjangnya
sepanjang ia
sujud. Luasnya seluas tempat
duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang
untuk
masuknya cahaya matahari, jauh dari
keramaian, pintunya rapat, dan tidak
ada dalam rumah yang banyak
penghuninya.
Ibnu Athoillah sepeninggal gurunya Abu
al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,
menjadi penggantinya dalam
mengembangkan Tariqah Syadziliah.
Tugas ini ia
emban di samping tugas mengajar di
kota Iskandariah. Maka ketika pindah
ke
Kairo, ia bertugas mengajar dan
ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Athoillah
berceramah di Azhar dengan tema
yang
menenangkan hati dan memadukan
perkatan-perkatan orang kebanyakan
dengan
riwayat-riwayat dari salafus soleh,
juga berbagai macam ilmu. Maka tidak
heran kalau pengikutnya berjubel dan
beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal
senada diucapkan oleh Ibnu Tagri
Baradi : “Ibnu Athoillah adalah orang
yang sholeh, berbicara di atas kursi
Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang
banyak sekali. Ceramahnya sangat
mengena dalam hati. Dia mempunyai
pengetahuan yang dalam akan
perkataan ahli hakekat dan orang
orang ahli
tariqah”. Termasuk tempat mengajar
beliau adalah Madrasah al-Mansuriah
di
Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai
banyak anak didik yang menjadi
seorang
ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam
Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin
al-Subki, pengarang kitab Tobaqoh al-
syafiiyyah al-Kubro.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn
Atho’ meninggalkan banyak karangan
sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari
sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq,
falsafah sampai khitobah.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya Al-
Kawakib al-durriyyah mengatakan:
SyaikhKamal Ibnu Humam ketika ziarah
ke makam wali besar ini membaca
Surat
Hud sampai pada ayat yang artinya:
“Diantara mereka ada yang celaka
dan
bahagia…”. Tiba-tiba terdengar
suara dari dalam liang kubur Ibn
Athoillahdengan keras: “Wahai Kamal
tidak ada diantara kita yang celaka”.
Demi menyaksikan karomah agung
seperti iniIbnu Humam berwasiat
supaya
dimakamkan dekat dengan IbnuAthoillah
ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab
al-Hikam adalah, suatu ketika salah
satu
murid beliau berangkat haji. Di sana si
murid itu melihat Ibn
Athoillahsedang thawaf. Dia juga
melihat sang guru ada di belakang
maqam
Ibrahim, di Masa dan Arafah. Ketika
pulang, dia bertanya pada
teman-temannya apakah sang guru
pergi haji atau tidak. Si murid
langsung
terperanjat ketiak mendengar teman-
temannya menjawab “Tidak”.
Kurang puas
dengan jawaban mereka, dia
menghadap sang guru. Kemudian
pembimbing
spiritual ini bertanya : “Siapa saja
yang kamu temui ?” lalu si murid
menjawab : “Tuanku saya melihat
tuanku di sana “. Dengan tersenyum
al-arif
billah ini menerangkan : “Orang besar
itu bisa memenuhi dunia. Seandainya
saja Wali Qutb di panggil dari liang
tanah, dia pasti
menjawabnya.
Ibn Atho’illah wafat
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan
dunia maya ini. Karena tahun tersebut
wali besar yang tetap abadi nama dan
kebaikannya ini harus beralih ke alam
barzah, lebih mendekat pada Sang
Pencipta. Namun demikian madrasah
al-Mansuriyyah cukup beruntung
karena di situlah jasad mulianya
berpisah
dengan sang nyawa. Ribuan pelayat
dari Kairo dan sekitarnya mengiring
kekasih Allah ini untuk dimakamkan di
pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
____________________________________
kalau menemukan kesalahan dalam
tulisan ini mohon dikoreksi terima
kasih:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar