Senin, 30 Januari 2012

Syaikh Ihsan Ulama' Dari Jampes Kediri

Mengamalkan tareqat berarti berkekalan di
dalam melaksanakan ‘ubudiyyah kepada Allah,
secara zahir dan batin, dengan kesempurnaan
komitmen (iltizam) mengikuti as-Sunnah, dan
menjauhkan segala bid’ah dan segala
kelonggaran (rukhsah), pada setiap gerak dan
diam.
Jalan kita ialah dengan menuruti jejak langkah
baginda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat. Aku telah dibawakan
ke jalan ini melalui Pintu Kurnia, karena dari
permulaan jalan hingga ke akhirnya, tiada yang
aku lihat melainkan pengaruniaan-
pengaruniaan dari Allah.
Di dalam tarekat ini, pintu-pintu kepada ilmu-
ilmu langit akan dibukakan kepada as-Salikin
yang teguh menuruti jejak langkah Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti as-
Asunnah adalah cara yang paling utama untuk
membuka pintu-pintu ini.
Orang-orang ahli hikmah mempunyai tiga cara
untuk mencapai Kebenaran (al-haqiqah), iaitu
melalui muraqabah, musyahadah dan
muhasabah.Muraqabah itu ialah tidak melihat
makhluk karena seseorang itu senantiasa sibuk
melihat Sang Pencipta makhluk. Maksud
musyahadah ialah memandang kecemerlangan
nur yang diterima di dalam hati. Dan maksud
muhasabah ialah tidak mengizinkan segala
ahwal yang telah diperoleh, menjadi batu
penghalang bagi mencapai maqam-maqam yang
lebih tinggi.
Para ahlullah itu tidak pernah merasa kagum
dengan amalan-amalan mereka. Mereka
sentiasa beramal demi cinta kepadaNya.
Siapa yang mengambil daripada tangan kami,
dan menuruti jejak langkah kami, dan
mencintai kami, apakah dia itu dekat ataupun
jauh, berada di Timur atau di Barat, maka akan
kami minumkan dia dari Sungai Kecintaan, dan
akan kami berikan dia cahaya pada setiap hari.
Jalan kita ialah melalui pergaulan yang baik.
Mengutamakan diri bisa mengakibatkan
seseorang itu menjadi masyhur dan ini ada
bahaya. Kebaikan terletak di dalam bersahabat.
Siapa yang mengikuti jalan ini akan
memperolehi banyak manfaat dan barakah
melalui pertemuan-pertemuan yang ikhlash
dan yang benar.
Siapa jua yang menziarahi kami tanpa
memperolehi faedah yang mereka perlukan
dibanding kami, sebenarnya, tiadalah mereka
menziarahi kami. Mereka tidak akan merasa
berpuas hati. Siapa yang mempunyai keinginan
untuk berkata-kata dengan kami, kami tidak
akan mendengar apa-apa. Dan siapa pula yang
ingin mendengar daripada kami, kami tidak
mempunyai apa-apa untuk diperdengarkan.
Siapa yang menerima apa yang diberikan tanpa
menganggapnya remeh, akan diberikan
tambahan. Siapa pula yang tidak dapat
menerima apa yang telah diberikan di sini,
tidak akan berupaya menerima apa-apa pun, di
mana-mana pun jua tempatnya.
Ingatkah engkau kepada kisah seorang manusia
yang meminta dirham (duit perak), tetapi dia
telah diberikan dinar (duit emas), karena tidak
ada dirham untuk diberikan kepadanya? Dia
telah berkata, “Apalah gunanya benda ini?
Aku tidak boleh membelanjakannya. Ini bukan
dirham!”.
Dari satu segi, setiap Insan Kamil itu adalah
sama. Ini berarti yang apabila si murid sudah
benar-benar sealiran dengan usaha tarekat
ini, dia boleh berkomuniksai dengan para
masayaikh terdahulu, sebagaimana mereka
sendiri sering berkomuniksai sesama sendiri,
menempuh jarak masa dan tempat.
Tugas-tugas dan amalan-amalan sebuah
tarekat membentuk satu unit. Kebenaran, cara
mengajar dan para murid, membentuk rupa
satu tangan, yang tidak dapat dilihat oleh si
jahil. Karena dia hanya melihat ketidaksamaan
jari-jari, dia tidak dapat melihat kepada
pergerakan padu dari tangan itu (yakni
pergerakan tangan sebagai satu entitas,
sebenarnya terjadi dari pergerakan bersaingan
tetapi berpadu dari jari-jari tangan itu).

smbr SufiNews

Kamis, 26 Januari 2012

An-Nifari

Pengelana Sufi dari Iraq
Sufi besar ini lahir di Iraq. Ketinggiannya
ilmunya melampaui Rumi dan al Hallaj. Ia
adalah teoritikus sufi sekaligus sastrawan
besar. Nama mistikus an-Nifary mungkin agak
asing ditelinga kita.Tidak seperti al Bustami
maupun al Hallaj, ia seakan kurang begitu
terdengar. Padahal di mata ahli tasawuf
pandangan-pandangan sufistiknya sangat
berpengaruh. Para sufi sesudahnya banyak
yang mengikuti jejak pria kelahiran Iraq ini.
Walau lirih, An-Nifary telah meninggalkan
tapak-tapak yang tidak kalah penting dibanding
al Hallaj maupun al Bustami.Bahkan dalam
memaknai tasawuf an-Nifary dipandang lebih
hati-hati dan tidak kontroversial. Meskipun
sosoknya bisa dibilang agak sulit, tetapi dirinya
menjadi tokoh panutan yang tiada banding.
Bernama lengkap Muhammad ibnu Abd Jabbar
bin al Husain an-Nifary, dikenal tidak hanya
sebagai seorang sufi saja. Dunia kesusastraan
telah menempatkan dirinya dalam pada puncak
kemasyhuran. Kehidupan tokoh ini sulit
terlacak. Di duga ia dilahirkan di Basrah Iraq
dengan tanggal dan tahun yang sulit ditemukan.
Minimnya data disebabkan oleh pribadi an-
Nifary. Sang sufi dikenal sebagai seorang yang
suka menyendiri. Disamping itu kesehariannya
lebih dikenal sebagai sosok pengelana.
Kesohor sebagai pengembara menjadikan
pengamat sufisme Dr. Margareth Smith
menjulukinya sebagai Guru Besar di Jalan
Mistik Sifat itu membikin karya-karyanya
jarang terlacak. Kalaupun sekarang ada, tak
lebih dari jasa orientalis Inggris, Arthur John
Arberry. Pengamat Islam ini berhasil
menerjemahkan beberapa karyanya tahun 1934.
Meski demikian tidak banyak karya-karyanya
yang terlacak. Pengembaraan menjadi salah
satu cirinya. Karya-karyanya juga penuh
dengan perjalanan spiritual yang mengagumkan.
Tidak kalah jauhnya dengan pengembaraannya
di dunia nyata. Tahap demi tahap dilakukannya
sampai pada puncak yang paling tinggi.
Itulah salah satu kalimat dari beberapa karya
an-Nifary. Tokoh ini terasa unik. Berbeda
dengan sufi lainnya, dalam diri an-Nifary ada
dua kelebihan. Di dunia sastra sufi, an-Nifary
sama seperti ar Rumi maupun maupun al
Aththar. Dibanding dengan keduanya, karya
an-Nifary lebih mendalam. Pertama, ia
seorang sastrawan sufis. Kedua, ia seorang
teoritikus mistik.
Pengalaman spiritual dibingkai dalam bahasa
sastra yang tinggi dan elok. Tidak dapat
dipungkiri, nama an Niffrari berderet diantara
sufi-sufi agung dan sastrawan sepanjang
zaman. Bait-bait puisinya tidak pernah luput
dari pemaknaan tentang Tuhan. Seperti
puisinya tentang penyerahan kepada Allah
berikut ini:
Ilmu adalah huruf yang tak terungkap kecuali
oleh perbuatan. Dan perbuatan adalah huruf
yang tak terungkap kecuali oleh keikhlasan. Dan
keikhlasan adalah huruf yang tak terungkap
kecuali oleh kesabaran. Dan kesabaran adalah
huruf yang tak terungkap oleh penyerahan
Sifat pasrah berhasil diungkapkan dalam
bahasa yang indah. Puisi ini menggambarkan
bagaimana sebaiknya mengartikan kepasrahan
secara mendasar. Totalitas penyerahan kepada
Tuhan akan menghasilkan pemaknaan yang
benar tentang Islam. Dan itulah pula makna
sujud yang dilakukan oleh umat Islam dalam
sholat. Tidak hanya kening yang melekat di
hamparan sajadah. Tetapi jauh lagi adalah
menyerahkan jiwa raganya kepada Allah.
Pemahamannnya yang tinggi terhadap tasawuf
menempatkannya dalam deretan teoritikus
mistik sepanjang zaman. Ada yang berpendapat
bahwa an-Nifary mempunyai kemiripan dengan
al Hallaj. Keduanya telah mencapai Wahdatusy
Syuhud (Penyatuan Penyaksian). Bedanya hanya
soal kehati-hatian. An-Nifary cenderung lebih
hati-hati untuk tidak mengatakan seperti al
Hallaj atu al Bustami. Kalau al Hallaj mungkin
lebih memilih untuk berkata ," Akulah al Haq!".
Atau al Bustami dengan kredonya yang
terkenal, "Mahasuci daku, alangkah agungnya
perihalku."
Al Hallaj dalam menanggapi perjalanan
spiritualnya sering kali terlihat menimbulkan
kontroversi. Bahkan gara-gara pencapaiannya
ini, ia dihukum mati. Berbeda dengan al
Bustami maupun an-Nifary. Dua sosok ini lebih
hati-hati dalam mengungkapkan pencapaian-
pencapaian spiritualitasnya. Walau begitu
kesalahan pemahaman terhadap keduanya juga
sering bermunculan.
Karya-karya an-Nifary
Terlepas dari itu semua, pemikiran tasawuf
dengan sangat memukau. Tasawuf di kaji
secara mendalam dengan argumentasi yang
cerdas. Sufisme menjadi bahasa spiritual
sekaligus ilmu pengetahuan. Melalui simbol-
simbol tampak sekali perjalanan dan konsepnya
tentang tasawuf. Meski dengan hati- hati, ia
mampu menerjemahkannya dalam sebuah pola
berfikir yang jitu.
Ada sebuah karyanya yang penting dan dapat
dinikmati sampai sekarang. Kitab berjudul al
Mawafiq wal Mukhthabat ( Posisi-Posisi dan
Percakapan-Percakapan). Diakui banyak
pengamat, karyanya ini sarat dengan simbol.
Hasilnya bahasa-bahasa kiasan itu sering
menimbulkan kontroversi. Dimungkinkan kalau
tidak hati-hati akan menimbulkan pemaknaan
yang salah.
Selanjutnya karya ini menjadi dua bagian
penting. Namun keduanya tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Ada sebuah
cerita menarik tentang karyanya ini. Menurut
pendapat satu-satunya pemberi syarah karya
an-Nifary, Afifuddin at-Tilmisani bahwa ia
tidak menulis sendiri karyanya. An-Nifary
hanya mendiktekan ide dan pengalaman
spiritualnya pada sang anak. Atau ia hanya
menulis dalam potongan-potongan kertas dan
kemudian disusun kembali oleh putranya itu.
Dimungkinkan kalau karyanya ditulis dan
disusun sendiri akan lebih sempurna dan indah.
Dalam bagian pertama kitab ini diterangkan
maqam, posisi atau tempat berdiri seseorang.
Mawafiq yang merupakan jamak dari mauqif
menunjukkan posisi seseorang dalam tingkatan
spiritualitas. Posisi itu sendiri disebut waqfah.
Menurutnya waqfah ini merupakan sumber
ilmu. Tentang hal ini Dr.Fudholi Zaini
menulis,” Waqfah adalah ruh dari ma’rifat,
dan pada ma’rifat adalah ruh dari kehidupan.
Pada waqfah telah tercakup di dalamnya
ma’rifah, dan pada ma’rifah telah tercakup
di dalamnya ilmu. Waqfah berada dibalik
kejauhan ( al ab’ud ) dan kedekatan (al qurb),
dan ma’rifah berada dalam kedekatan, dan
ilmu ada dalam kejauhan. Waqfah adalah
kehadiran Allah dan ma’rifah adalah ucapan
Allah, dan ilmu adalah tabir Allah. Dengan
demikian urutan dari besar ke kecil sebagai
berikut: waqfah, ma’rifah dan ilmu.”
Proses penyaksiaan ini menjadi hal yang sangat
pribadi. Bila orang mencapai maqam tinggi,
perkataannya bisa menjadi sesuatu yang tidak
jelas dan sulit dimengerti. Bahkan dalam
beberapa hal sukar untuk dikomunikasikan.
Maka dari itu an-Nifary memilih diam ketika
melewati tahapan spiritualitasnya. Baginya
kata-kata tidak pernah bisa menampung
penglihatannya.
Dalam kitab ini juga diterangkan tentang ilmu
dan amal perbuataan atau makrifat dengan
ibadah. Ia mengatakan berpendapat hakekat
ilmu adalah perbuatan. Hakekat perbuatan
adalah keihlasan. Hakekat keikhlasan adalah
kesabaran, dan hekekata kesabaran adalah
penyerahan. Baginya hehekat tidak akan
terbentuk kecuali dengan syariat. Demikian
pula ide tidak akan terlaksana kalau tidak ada
penerapan dan perbuatan. Makanya
kerterkaitan antara syariat dan hakaket
menjadi penting artinya.
Sedang dalam al Mukhathabat berisi kata-kata
batin dan kata-kata yang Maha Kuasa dalam
diri sang sufi. Di mana dalam posisi terakhir
ini an-Nifary lebih memilih diam. Pengalaman
ruhani yang luar biasa ini menimbulkan
spontanitas yang membuatnya menjadi gagap.
Menutut Dr.Fudholi Zaini, kitab al Mukhathabat
ini biasanya diawali dengan ungkapan”Ya
abd!” (Wahai hamba). Di tulis juga dalam kitab
ini bahwa ilmu menempati posisi yang utama.
Semua jalan menuju Tuhan harus lewat ilmu.
Tak salah kalau AJ Arberry memandang an-
Nifary sebagai teoritikus ulung. Spiritualitas di
tangannya bisa lebih dipahami. Dengan
pengungkapan melalui bahasa sastra yang
indah, beberapa pokok pandangan sufistiknya
mengalir lancar. Sebagai ulama yang sangat
memegang syariat, cara bertuturnyapun
cenderung tidak melewati aturan. Emosi
pengembaraan spiritual tergambar pelan-pelan
menuju puncak Ilahiyah.
Kata-kata Bijak an-Nifary
Membaca ujaran-ujaran an-Nifary kita akan
melihat cara pandangnya. Beberapa
pemikirannya tentang ilmu, tabir sampai
persaksian dengan Tuhan berhasil dijelaskan.
Tidak ada kata yang meledak-ledak. Padahal
simbol dan makna yang diungkapkannya kadang
terasa aneh dan gelap. Berikut beberapa
ujaran an-Nifary yang berhasil dihimpun oleh
pengamat sufisme Margareth Smith
sebagaimana ditulis dalam buku ujaran-ujaran
dan Karyanya :
“ Keabadian melagukan pujian kepada-Ku dan
ia adalah salah satu sifat-Ku yang wajib
melakukan hal itu, dan telah Aku ciptakan dari
pujiannya malam dan siang dan telah Aku buat
keduanya dalam selubung-selubung yang
merentang mengelilingi mata dan pikiran
manusia, dan mengelilingi benak dan kalbu
mereka. Malam dan siang adalah dua selubung
yang saling merentangi semua yang telah Aku
ciptakan, tetapi karena Aku telah memilihmu
untuk Diri-Ku, telah Aku angkat kedua
selubung itu agar kau bisa melihat Ku dan kau
telah melihat Ku , karenanya berdirilah
dihadapan Ku dan teruslah dalam penglihatan
Ku, karena kau tidak akan terpisah oleh
sesuatu yang tak mungkin
megak dan serahkanlah hanya kepada Ku semua
yang pernah Aku wujudkan kepadamu.”
Disamping itu juga ditulis,” Tuhan berkata
kepadaku : “Tanyakan kepada-Ku dan
katakan,” Duhai Tuhan , berapa lama aku
harus berpegang teguh kepada Mu , agar ketika
hari pembalasan tiba, engkau tidak
menghukumku dengan hukuman Mu dan Engkau
tidak berpaling dariku ?” Dan Aku akan
berkata kepadamu ,” Berpegang teguhlah pada
hukum agama (Sunah) dalam pengetahuan dan
tindakan, dan perpegang teguhlah engkau pada
ilmu yang telah Aku berikan kepadamu kedalam
kalbumu, dan ketahuilah bahwa ketika Aku
menjadikan diri Ku terlihat olehmu, Aku tidak
akan menerima darimu dari apa yang datang
kepadamu dari penjelmaan Ku yang terlihat
untukmu, karena kepada kaulah Aku telah
berbicara. Kau telah mendengarkan Ku, kau
mengetahui bahwa kau mendengarkan Ku dan
kau memahami bahwa semua benda berasal
dari Ku”
Sedang Dr.Fudholi Zaini menerjemahkan
beberapa ujarannya sebagai berikut:
“Ia menghentikanku dalam posisi kebangggan
dan berkata kepadaku: Akulah yang lahir dan
tak ada yang tampak dariku. Dekatnya tak bisa
memantauku dan wujudnya tak bisa menujukku.
Akulah penyembunyi yang batin dan aku lebih
tersembunyi darinya. Dalilnya tak bisa
melacakku dan lorongnya tak sampai kepadaku.
Kebodohan itu tabirnya penglihatan dan ilmu
juga tabirnya penglihatan. Akulah yang lahir
tanpa tabir dan hijab, dan akaulah yang batin
tanpa singkap. Siapa yang telah mengenal hijab
maka ia akan segera menjelang singkap.”
Selanjutnya ia menulis, “ Kedirian seorang
waqif adalah diamnya. Kedirian seorang arif
adalah ucapannya. Kedirian seorang alim adalah
ilmunya.”
Itulah salah satu kalimat dari beberapa karya
an-Nifary. Kata-kata diatas mengambarkan
pemaknaan yang cukup dalam tentang
pengetahuan dan makrifat. Tiap kali bertambah
ilmu serta makrifat, semakin sedikitlah kata-
kata yang bisa diungkapkan. Yang ada hanya
ketakjuban akan pesona keindahan dan
kebesaran Sang Segala Keindahan.

sumber SufiNews

Uwais Al-Qarani

Meraup Hikmah Sang Nafas ar-
Rahmandari dari Yaman
Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan
penting dalam biografi mistikal nabi.
“Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-
Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih,
mengalir
kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi
SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam
tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka
yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh
sang guru yang hidup. Para sufi yang mengaku
dirinya telah menempuh jalan tanpa
pemba’iatan formal kemudian disebut dengan
istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung
oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah
ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius,
Khidhir.
Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir
al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa
terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan
beliau dilahirkan. Ia kilahirkan oleh keluarga
yang taat beribadah. Ia tidak pernah
mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang
tuanya yang sangat ditaatinya. Untuk
membantu meringankan beban orang tuanya, ia
bekerja sebagai penggembala dan pemelihara
ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya
ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya
dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh
karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan
orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik
ternak dan sesamanya, para penggembala.
Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang
dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap
harinya ia lalui dengan berlapar-lapar ria. Ia
hanya makan buah kurma dan minum air putih,
dan tidak pernah memakan makan yang dimasak
atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan
betul derita orang-orang kecil disekitarnya.
Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian,
rasa takutnya kepada Allah mendorongnya
untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah,
janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang
mati karena kelaparan, dan jangan Engaku
menyiksaku karena ada yang kedinginan.”
Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga
termanifestasi dalam kecintaannya dan
ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada
kedua orang tuanya, sangat luar biasa. Di siang
hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia
asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan
lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan
bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun
ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu
berada bersama Tuhan, dalam pengabdian
kepada-Nya.
Rasulullah saw menuturkan keistimewaan
Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali
bahwa dihari kiamat nanti, disaat semua orang
dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan
syafaat kepada sejumlah besar umatnya,
sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah
dan Mudhar (keduanya dikenal karena
mempunyai domba yang banyak). Karena itu,
Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua
agar menemuinya, menyampaikan salam dari
Rasulullah, dan meminta keduanya untuk
mendoakan keduanya, yang digambarkan
bahhwa Uwais memiliki tinggi badan yang
sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda
putih sebesar dirham pada bahu kiri dan
telapak tangannya.
Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk
menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu
penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais.
Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan
rombongan orang-orng Yaman, ia selalu
berusaha mencaru tahu dimana keberadaan
Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun,
keduanya selalu gagal mendapatkan informasi
tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat
menjadi khalifah, informasi tentang Uwais
keduanya perolih dari serombongan orang
Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan
tidak brgaul dengan masyarakat. Ia tidak
makan apa yang dimakan oleh kebanyakan
orang, dan tidak tampak susan atau senang.
Ketika orang-orang tersenyum ia menangis,
dan ketika orang-orang menangis ia
tersenyum”. Demikian kata rombongan
orang-orang Yaman tersebut. Mendengar
cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan
Ali segera berangkat menuju tempat yang
ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi.
Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di
suatu tempat terpencul. Abi Naim al-Afshani
menuturkan dialog yang kemudian terjadi
antara Umar dan Ali dengan Uwai al-Qarani
sebagai berikut:
Umar : Apa yang anda kerjakan disini ?
Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala
Umar : Siapa nama Anda?
Uwais : Aku adalah hamba Allah
Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan
tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda
lebih dekat lagi
Uwais : Silahkan saja.
Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan,
andalah orang yang pernah diceritakan oleh
Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan
berilah kami nasehat agar kami beroleh
kebahagiaan dunia dan di akherat kelak.
Uwais : Saya tidak pernah mendoakan
seseorang secara khusus. Setiap hari saya
selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas
siapa sebenarnya anda berdua.
Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul
Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib.
Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk
menemui anda dan menyampaikan salam beliau
untuk anda.
Umar : Berilah kami nasehat wahai hamba
Allah
Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan
ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada
Allah.
Umar :Terimakasih atas nasehat anda yang
sangat berharga ini. Sebagai tanda terima
kasih kami, kami berharap anda mau menerima
seperangkat pakaian dan uang untuk anda
pakai.
Uwais : Terimakasih wahai Amirul mu’minin.
Saya sama sekali tidak bermaksud menolak
pemberian tuan, tetapi saya tidak
membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah
yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah
lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada
ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah
kurma dan minum air putih, dan tidak pernah
makan makan yang di masak. Kurasa hidupku
tidak akan sampai petang hari dan kalau
petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi
hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat
kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya.
Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui
keduduka spiritualnya yang demikian tinggi di
mata Rasulullah saw, mereka kemudian
berusaha untuk menemui dan memuliakannya.
Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup
penuh dengan kesunyian ini, diam-diam
meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah,
melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih
untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas
untuk yang selain Dia. Tentu saja,
“kesunyian” disini tidak identik dengan
kesendirian (pengasingan diri). Hakekat
kesendirian ini terletak pada kecintaanya
kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan,
tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia
hidup ditengah-tengah keramaian. Alaisa
Allah-u bi Kafin abdahu?
Setelah seorang sufi bernama Harim bin
Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah
tadak menemukannya di Qaran. Kemudian ia
menuju Basrah. Di tengah perjalanan menuju
Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang
mengenakan jubah berbulu domba sedang
berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais
beranjak naik menuju tepian sungai sambil
merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan
memberi salam kepadanya.
Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”,
wahai Harim bin Hayyan.
Harim terkejut ketika Uwais menyebut
namanya.
“Bagaimana engakau mengetahui nama saya
Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Roku
telah mengenal rohmmu”, demikian jawan
Uwais.
Uwais : kemudian menasehati Harim untuk
selalu menjaga hatinya. Dalam arti
mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan
kepada-Nya melalui mujahadah, atau
mengarahkan diri “dirinya “ untuk
mendengar dan mentaati kata hatinya.
Meski Uwais menjalani hidupnya dalam
kesendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-
saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam
kegiatan jihad untuk membela dan
mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi
perang Shiffin antara golongan Ali melawan
Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat
orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut
dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari
pembebasan tersebut, Uwais terserang
penyakit dan meninggal saat itu juga. (t.39 H).
Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani,
kemudian hri namanya banyak di puji oleh
masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya
dalam satu sajak syairnya :
Kawan tercinta kekasih Allah;
Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani.
Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan
haram
Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani
Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja,
Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam
Allah;
Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-
unta
Di tanah Yaman, Uwais alQarani
Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “,
negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang
dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang
Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan
membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-
Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi
sebelumnya yang mendatangkan keharuman
yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada
ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah
menjadi simbul dari Timur yang penuh dengan
cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang
dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah
keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah
kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani
yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu
dengan nabi. Hikmah Yamaniyyah,
“Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah
Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan,
sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan
intelektual, sebagaimana Timur dan Barat.
Doa dan Dzikir
Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri
Uwais al-Qarani, kemudian menjadi landasan
dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya
yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya
dan sikap zuhudnya, adalah doa dan dzikirnya.
Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk
seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh
umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah
lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk
bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-
ternaknya.
Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang
yang tidak dapat dipisahkan. Hakekatnya adalah
satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk
dari dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia
tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku,
maka Aku akan mengaruniakan kepadanya
sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang
yang berdoa kepada-Ku”.
Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin.
Doa untuk kaum muslim adalah salah satu
bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap
“urusan kaum muslim”. Rasulullah saw.
Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa
yang tidap peduli dengan urusan kaum muslim,
maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal
ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa
permohonan yang paling cepat dikabulkan
adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa
sepengetahuan orang yang didoakan dan
mendahulukan doa untuk selain dirinya. Dan
Uwais lebih memilih untuk medoakan seluruh
saudaranya seiman.
Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah
malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra,
sedang khusu’ berdoa. Hasan yang pensasaran
ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam
doanya berusaha untuk menguping. Namun
Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal
hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta
pengampunan dan kebahagian hidup untuk
seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat
kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya
kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali
tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri.
Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahwa
apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan
hidup kaum muslim, hakekatnya, permohonan
itu akan kembali kepada kita. Sebab para
malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan
berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua
kali lipat.”
Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian
menarik suatu prinsip yang lebih umum yang
padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan.
Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus
kita berikan kepad orang lain. Jika kebajikan
yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan,
berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi
para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku
seseorang adalah gema dari pelaku yang lain.
Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia
akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia
akan datang dari orang lain. Itulah gemanya.
Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan
itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus
kali lipat dibanding yang kita berikan.
Demikianlah, berdoa untuk kaum mulim akan
bergema di dalam diri yang tentu saja akan
berdampak besar dan positif dalam membangun
dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual
seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus
ego di dalam diri yang merupakan musuh
terbesar, juga sekalihgus akan melahirkan dan
menanamkan komitmen dalam diri “rasa
Cinta”dan “prasangka baik”terhadap
mereka, yang merupakan pilar lain dari ajaran
sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian
kepada Allah swt.
Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir,
mengingat dan mnyebut-nyebut nama Allah
meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang
ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang
umum mencakup ucapan segala macam
ketaatan kepada Allah swt. Namun yang
dilakukan Uwais disini adlah berdzikir dengan
menyebut nama-nama Allah dan meningat
Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah. Ibn
Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan
berbagai macam faedah dzikir dalm kitabnya
“al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-
thayyib” menyebutkan bahwa yang paling
utama pada setiap orang yang bramal adalah
yang paling banyak berdzikir kepad Allah swt.
Ahli shaum yang paling utama adalah yang
paling banyak dzikirnya; pemberi sedekah yang
paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya;
ahli haji yang paling utama adalah yang paling
banyak berdzikir kepada Allah swt; dan
seterusnya, yang mencakup segala aktifitas
dan keadaan.
Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-
Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya
suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik
nama itu, sebeb nama itu mengandung kesan
sipemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi
rahasianya dan maknanya. Berdzikir dan
mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik
kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi
akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh
yang sangat besar. Al-Ghazali menyatakan
bahwa yang diperoleh seorang hamba dari
nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan), yang
berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan
dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya
hanyalah Dia. Dan hal ini, dalam pandangan Ibn
Arabi, berarti sang hamba tersebut menyerap
nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan
ontologis. Demikianlah, setiap kali kita
menyerap asma Allah lewat dzikir kepada-
Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita
mengalami tranformasi. Yanag apada akhirnya
akan membuahkan akhlak al-karimah yang
merupakan tujuan pengutusan rasulullah
Muhammad saw.
Dilihat dari sudut panang psikologis sufistik,
pertama-tama dzikir akan memberi kesan
pada ruh seseorang, membentuknya membangun
berbagai kualitas kebaikan, dan kekuatan
inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama
itu. Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi
semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang
kemudian mekanisme ini berkembang pada
pengulangan nama-nama secara otomatis. Jadi
jika seseorang telah mengilang dzikirnya
selama satu jam, misalnya, maka sepanjang
siang dan malam dzikir tersebut akan terus
berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi
terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga
akan terefleksi pada ruh semesta, dan
mekanisme universal kemudian mengulanginya
secara otomatis. Dengan kata lain, apa yang
didzikirkan manusia dengan menyebutnya
berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai
mengulanginya, hingga termaterialisasi dan
menjadi suatu realita di semua tingkat
eksistensi. Wallahu a’lam bis-shawab.

Sumber SufiNews

Ulama Karismatik KH. Muhammad Dimyati

KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan
Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis.
Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat
Syadziliyah dan melahirkan banyak santri
berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya.
Nama lengkapnya
Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad
Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat
kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar
hingga mancanegara.
Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa,
dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak
kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya
didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti
melihat warna-warni dunia sufistik.
Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru
sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol.
Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi
masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah
Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan.
Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi
bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru
pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal
Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang,
Banten tidak pernah sepi dari para tamu
maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat
rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa
hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai
gurunya dari para guru dan kiainya dari para
kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga
sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati
dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja
mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga
menjalankan kehidupan dengan pendekatan
tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut
tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah
mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di
seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri.
Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak
pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan
Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang
namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki
seperti ini karena tiap dinding dari tempat
pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di
tempat ini pula Abuya Dimyati menerima
tamu-tamu penting seperti pejabat
pemerintah maupun para petinggi negeri.
Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya
untuk pengajian sehari-hari semenjak
kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah
sejak kecil memang sudah menampakan
kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau
belajar dari satu pesantren ke pesantren
seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng
Pandeglang. Kemudian ke pesantren di
Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di
tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim,
Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad
Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol,
Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin
Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat
Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua
guru-guru beliau bermuara pada Syech
Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai
sepuh tersebut adalah memiliki kriteria
kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah
Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai
sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah
diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu
kisah unik ketika Abuya datang pertama ke
Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar
kepada santri-santri besok akan datang
‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai
saat masih mondok di Watucongol sampai di
tempat beliau mondok lainya, hingga sampai
Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan
mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare,
Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah
Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di
setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada
peningkatan santri mengaji.
Jalan Spritual
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya
Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik.
Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari
pesantren yang satu ke pesantren yang lain
selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan
mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para
santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet
karena tidak hanya mampu mengajar kitab
tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat.
Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan
semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust,
diwani, diwani jally, naskhy dan lain
sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam
ilmu membaca al Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah
kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa
Tengah pernah berucap bahwa belum pernah
seorang kiai yang ibadahnya luar biasa.
Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak
pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6
pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah
istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung
mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat
ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian
wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi
hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan
qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika
bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem.
Ketika bertemu dengannya, Abuya malah
disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin
mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai
akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab,
“Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai
pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon
diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun
menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah
termaktub dalam kitab, begitu pula dengan
selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya
tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah
sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan
selawat.” Jawaban tersebut justru membuat
Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian
kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi.
Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya
untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan
solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya
Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian
diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Dipenjara Dan Mbah Dalhar
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang
sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai
karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada
zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya
sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam
penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat
berbeda prinsip dengan pemerintah ketika
terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh
menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun
dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun
empat bulan kemudian Abuya keluar dari
penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya
Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa.
Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib
nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan
Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul
Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat
perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr
isinya menguraikan tentang hidzib Nasr.
Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya
yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.
Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam
Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat
yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah
didalamnya membahas tentang tarekat
Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik
seputar Abuya dan pertemuannya dengan para
kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen
Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget.
Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak
pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai
Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil
Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh
datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya
begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau
mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun
berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa
disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada
pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan
mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik
sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu
yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab
karangan mbah-mbahmu. Karena kitab
tersebut masih perlu diperjelas dan sangat
sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati
menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk
mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi?
Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa
yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai
Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau
sampeyan mau tetap di sini, saya mohon
ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-
santri yang ada di sini dan sampeyan jangan
punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi
ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi
meninggalkan kita semua. Abuya Dimyati tak
akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3
Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar
pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga
Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang
ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH.
Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu,
Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78
tahun.

sumber SufiNews

Rabu, 25 Januari 2012

KH. Abdul Hamid

Semua Orang Merasa Paling Disayang
KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di
Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa
Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember;
Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng;
Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian:
pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan ANGIN
bergerak perlahan. Hening. Jam menunjuk pukul
01.00 lebih. Warga Pesantren Salafiyah,
Pasuruan, dan sekitarnya lelap tidur nyenyak.
Krosak! Tiba-tiba suara daun terlanggar batu
menyeruak keheningan. Sejurus kemudian
terdengar lagi suara itu yang kedua dan ketiga
kali. "Faisal, hari sudah malam. Waktunya
tidur," terdengar teguran halus dari arah
belakang pelempar batu itu. Faisal (bukan nama
sebenarnya), santri Salafiyah yang terkenal
badung itu tidak menyahut. Ia yakin, itu suara
anak santri lain yang ingin menggodanya,
dengan meniru suara Kiai Hamid.
Faisal memungut batu lagi dan melempar pohon
mangga di depan rumah pengasuh pesantrennya
itu. "Faisal, hari sudah malam, waktunya
tidur," terdengar suara lembut lagi dari arah
belakang anak yang suka melucu itu. Begitu
lembut, selembut semilir angin tengah malam.
"Sudahlah, kau tak usah usil. Aku tahu siapa
kau," sergah Faisal sambil melempar lagi.
Lagi-lagi lemparannya luput. Ia semakin tidak
sabaran melihat buah mangga yang ranum itu.
"Faisal, hari sudah malam. Ayo tidur, tidur."
Suara itu masih halus, tanpa emosi. "Kurang
ajar," umpat Faisal. Kesabarannya sudah habis.
Ini keterlaluan, pikirnya. Dengan geram, ia
menghampiri arah datangnya suara tersebut.
Entah apa yang ingin dilakukannya terhadap
orang yang dianggapnya meniru seperti Kiai
Hamid itu. Ia tidak dapat segera mengenali,
siapa santri yang berlagak seperti Kiai Hamid
di depan rumah kiai yang sangat disegani itu.
Maklum, semua lampu di teras rumah itu sudah
dipadamkan sejak pukul 21.00. Mendadak
mukanya pucat ketika jarak dengan orang
tersebut tinggal 1-2 meter.
Tubuhnya bergetar demi mengetahui orang yang
telah diumpatinya tadi benar benar Kiai Hamid.
Faisal pun menunduk segan. "Sudah malam, ya.
Sekarang waktunya tidur," ujar Kiai, Hamid,
masih tetap lembut, namun penuh wibawa.
"Inggih (iya)," jawab Faisal pendek, sambil
ngeloyor pergi ke kamarnya. Faisal bukan
satu-satunya santri yang suka mencuri
mangga milik kiai.
Cerita seperti itu sudah menjadi semacam
model khas kenakalan santri di pesantren.
Faisal juga bukan satu-satunya anak santri
Salafiyah yang merasakan kesabaran Kiai
Hamid. Kesabarannya memang diakui tidak
hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga
dan masyarakat serta umat islam yang pernah
mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik
kepada santri maupun kepada anak dan
istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua,
khususnya setelah menikah, sebenarnya
kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.
"Kiai Hamid dulu sangat keras," kata Kiai
Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber
Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa
Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak
ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di
antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12
saudara kandungnya, tinggal dua orang yang
masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem,
dan Halimah. Sedang dari lima saudara
seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu
Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya
di Pasuruan.
Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri.
Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di
Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq,
juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember,
Jawa Timur.
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq,
tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro'is
Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki
keterikatan yang sangat kuat dengan dunia
pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya
yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk
menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula
belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada
umur sembilan tahun, ayahnya mulai
mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai
pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di
pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari,
Jember, Jawa Timur. Konon, demikian
penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid
sangat disayang baik oleh ayah maupun
kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-
tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama
besar.
"Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu
dengan Rasulullah," katanya. Dalam
kepercayaan yang berkembang di kalangan
warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah
walau telah wafat sekali waktu menemui
orang-orang tertentu, khususnya para wali.
Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam
legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid
mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para
ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai
berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren
kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember.
Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk
pergi haji yang pertama kali bersama keluarga,
paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama
kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan,
Rembang. Di desa itu dan desa-desa
sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan
lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke
Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang
kini menggantikannya sebagai pengasuh
Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu
sudah cukup maju untuk ukuran zamannya,
dengan administrasi yang cukup rapi.
Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah
melahirkan banyak ulama terkemuka, antara
lain KH Ali Ma'shum, mantan Ro'is Am NU.”
Menurut Idris, inilah pesantren yang telah
banyak berperan dalam pembentukan bobot
keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar
berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari
pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama
orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya
tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia
mengikuti pengajian Habib Ja'far, ulama besar
di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan
sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH
Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam
anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga
orang yang masih hidup, yaitu H. Nu'man, H.
Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan
berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama
beberapa tahun ia harus hidup bersama
mertuanya di rumah yang jauh dari mewah.
Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia
mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi,
sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata
ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa
Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat
Kotamadya Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan
Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan
orangtuanya selama dua tahun tidak patut
(tidak mau akur). Namun ia menghadapinya
dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas,
telah mengantar mendung di rumah keluarga
muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu
gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak
istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali
lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat
sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab,
meninggal dunia pula, padahal umurnya baru
beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu
membawanya bertamasya ke tempat lain. KH.
Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid,
menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai
Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama
empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan
darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat
menutupinya sehingga tak ada orang lain yang
mengetanuinya. "Uwong tuo kapan ndak digudo
karo anak Utowo keluarga, ndak endang
munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah
mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia
tidak lekas naik derajatnya)", katanya suatu
kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak
merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam
mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak
pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari
ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak
memberikan pendidikan lewat keteladanan.
Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi,
untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat
misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk
bangun pada saat fajar menyingsing, guna
menunaikan shalat subuh, meski seringkali
orang lain yang disuruh membangunkan mereka,
Hamid juga memberi pengajaran membaca al-
Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa
kecil. Namun, begitu mereka menginjak
remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-
anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga
istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya
tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak
pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara
berurutan dari bab satu ke bab berikutnya.
Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu
dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih
banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah
kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah
al-Hidayah karya Imam Ghazali, "Tampaknya
yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan
ilmunya itu sendiri," jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai
Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau
pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan
spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu
tertentu - misainya alat (gramatika bahasa
Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol
sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku
seorang santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya
shalat berjamaah lima waktu. Sementara
jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi
dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi
jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh
santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak
mengajar, kecuali kepada santri-santri
tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu,
khususnya di masa-masa akhir kehidupannya,
ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk
umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap
Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk
mengikuti pengajian selepas salat subuh ini.
Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi
juga kota-kota Malang, Jember, bahkan
Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu
itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-
Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap
pengajian, ia hanya membaca beberapa baris
dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang
ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak
jarang, air matanya mengucur deras ketika
bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid
memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-
Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya 'Ulum ad-
Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak
kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak
dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu
menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau
menumpanginya. Bangunan rumah dan
perabotan-perabotannya cukup baik, meski
tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba
putih. Cara berpakaian maupun penampilannya
selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan
pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang
berkualitas rendah. "Berpakaianlah yang rapi
dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya.
Siapa tahu anggapan itu merupakan doa
bagimu," katanya suatu kali kepada seorang
santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang
yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata
idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid
berniat untuk mengekang nafsunya dengan
tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya
tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti.
Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti
itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya
saja. "O, rupanya dia suka kulit roti," pikir
istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah
yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada
suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa.
"Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku
memakannya kemarin, itu karena aku
bertirakat," ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil
Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di
Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan
halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa,
Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya
sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai
Hamid memang selalu berusaha untuk tidak
mengecewakan orang lain, suatu sikap yang
terbentuk dari ajaran idkhalus surur
(menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan
Nabi.
Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa
sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya
kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa
kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi
undangan, di manapun dan oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur,
sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu
ajaran (yang dipahami secara sederhana)
mengenai kepedulian sosial islam terhadap
kaum dlu'afa yang diwujudkan dalam bentuk
pemberian sedekah. Memang karikaturis -
meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang
sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli
ekonomi yang berpikir secara lebih makro.
Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap
sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi
dari motivasi keagamaan yang "egoistis",
dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan
kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita
mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial
islam itu sudah membentuk tanggung jawab
sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-
mula harus diterapkan kepada keluarga
terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan
seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian
tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga
terdekat yang tidak mampu, konon ia juga
memberikan bantuannya secara rutin,
terutama bila mereka sedang mempunyai hajat,
apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan
anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia
meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga
yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi
uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam
mengajarkan, hari raya merupakan hari di
mana umat Islam dianjurkan bergembira
sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah
puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya,
sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid
tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali
kepada handai tolan dan tetangga terdekat.
Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa
beras dan sarung - untuk tetangga dekat
setiap tahun tergantung yang dipunyainya dari
pemberian orang lain. Tapi yang pasti,
jumlahnya tak pernah kurang dari 313 buah. Ini
adalah jumlah para pengikut perang Badr
(pecah di bulan Ramadhan antara Nabi dan
orang Kafir). Penelusuran lebih jauh akan
menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain
merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat.
Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari
sikap penuh perhatian yang tinggi terhadap
orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas
santri dan adik iparnya, "Semua orang merasa
paling disayang oleh Kiai Hamid." Setiap pagi,
mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki
berkeliling ke Mushalla-mushalla hingga sejauh
1-2 km. untuk membangunkan orang-orang -
biasanya anak-anak muda - yang tidur di
tempat-tempat ibadah itu. Di samping itu,
beberapa rumah tak luput dari perhatiannya
sehingga membuat tuan rumah tergopoh-gopoh
demi mengetahui bahwa orang yang mengetuk
pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid
yang sangat diseganinya. Sikapnya yang
kebapakan itulah yang membuat semua orang
mengenalnya secara dekat merasa kehilangan
ketika ia wafat.
Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan
keluhan dan masalah orang lain, dan terkadang
melalui perlambang-perlambang, memberi
pemecahan terhadapnya. Tak cuma itu. Ia
sering memaksa orang untuk bercerita
mengenai yang menjadi masalahnya. "Ceritakan
kepada saya apa yang membuatmu gundah,"
desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski
telah berkali-kali mengatakan tidak ada apa-
apa. Dan, akhirnya setelah dibimbing ke kamar
di rumahnya, Shobih dengan menangis
menceritakan masalah keluarga yang selama ini
mengganjal di hatinya.
Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita
bahwa ia masih kekurangan uang menghadapi
perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai
Hamid. Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp
200.000. Pemberian uang untuk maksud-
maksud baik ini memang sudah bukan rahasia
lagi. Selain sering dihajikan orang lain, sudah
puluhan pula orang yang telah naik haji atas
biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja.
Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang
telah berdiri atau direnovasi atas prakarsa
serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat,
kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang
ia wafat. Ia memprakarsai renovasi terhadap
beberapa mushalla di dekat rumahnya yang
selama ini tak pernah terjamah perbaikan.
Untuk itu, di samping mengeluarkan uang dari
kantongnya sendiri, ia memberi wewenang
kepada masing-masing panitia untuk
mempergunakan namanya dalam mencari
sumbangan.
Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya
yang dicirikan dengan komitmen Idkhalus surur
dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang
sederhana dengan corak religius yang kuat
merupakan watak kepemimpinannya. Tapi, lebih
dari itu, kepemimpinan yang tidak menonjolkan
diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha
menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif
dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yang
suaranya begitu lirih itu tidak pernah
berpidato di depan umum: Tapi di situlah,
khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan
sebagian besar Jawa Timur yang sudah
terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan
Kiai Hamid.
Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai
tampak selama menuntut ilmu di Pesantren
Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua
kali. Ia lahir dengan nama Mu'thi, lalu berganti
dengan nama Abdul Hamid setelah haji yang
pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya,
KH Ahmad Qusyairi, memanggilnya dengan
Hamid saja. "Nama saya memang Hamid saja,
Bah (Ayah)," katanya, seperti tidak ingin
mengecewakan mertuanya itu. Diantara
karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq,
yaitu menyairkan kitab terkenal di pondok
pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yang
berisi akidah, syari'ah, akhlaq dan tasawuf.
Sedangkan Thariqah beliau adalah Syadziliyah.
Menurut beberapa sumber ada yang
mengatakan mengambil thariqah dari KH.
Mustaqiem Husein, ada sumber lain
menyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.

sumber sufinews

Syaih Syamsudin Sumatrani

Sufi Legendaris dari Nangroe Aceh
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-
satunya daerah yang aksentuasi keislamannya
paling menonjol. Selain menonjolnya warna
keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di
sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah
tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal
Samsuddin Sumatrani.
Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh
sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan
corak esoteris pada wajah Islam di Aceh.
Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit
sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini
selain karena tidak ditemukannya catatan
otobiografisnya, juga karena langkanya
sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.
Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr.
Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian
untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan
langkanya sumber-sumber mengenai tokoh
sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang
dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin
Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan
kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak
memotret perjalanan hidupnya secara terinci.
Meski demikian, dari serpihan-serpihan data
historis yang terbatas itu kiranya cukuplah
bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran
akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.
Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara
pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal
sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di
belakang namanya, itu merupakan penisbahan
dirinya kepada “negeri Sumatra” alias
Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan
Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri
sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni
Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga
adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.
Menurut para sejarawan, penisbahan namanya
dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai
mengisyaratkan adanya dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah
orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka
bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan
dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di
Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang
ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama
bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan
dikuburkan di sana.
Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai
pusat pengajaran dan pengembangan Islam,
Negeri Pasai itu memang lebih dahulu
terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak
Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada
kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum
akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada
tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk
kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh
Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.
Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil
(1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah
menjadi orang kepercayaan sultan Aceh.
Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri
tidak disingkapkan bagaimana perjalanan
Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi
ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan
istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat
dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039
H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa
terakhir dari masa hidupnya ia merupakan
tokoh agama terkemuka yang dihormati dan
disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan
berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan
Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat
ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh
serta berperan besar dalam sejarah
pembentukan dan pengembangan intelektualitas
keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan
beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat
ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?),
Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin
Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel
(1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya
hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan
ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung
seperlunya.
Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan
Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy
cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani
sebagai murid dari Hamzah Fansuri.
Pandangannya ini diperkuat dengan
ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin
Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah)
terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua
karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah
Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah
Syair Ikan Tongkol.
Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-
Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti.
Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah
Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri
memperoleh kedudukan seperti sebelumnya
diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat
menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada
tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena
fatwanya yang men-zindiq-kan
(mengkafirkan) paham wahdatul wujud
Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani
dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman
bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka
miliki dibakar habis. Namun demikian, para
pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak
punah semuanya.
Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan
dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh
Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir,
Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul
Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian
mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada
Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang
Minang yang juga penganut paham wahdatul
wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali
ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India.
Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin
Sumatrani itu kembali mewarnai corak
keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.
Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan
diketahui adanya sejumlah karya tulis yang
dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari
karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani,
atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani
yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya
tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian
lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya
tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai
berikut:
Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa
Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap
yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze.
Kitab ini menyajikan pengajaran tentang
martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa
al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman;
berbahasa Arab). Karya yang telah disunting
oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif
singkat, cukup penting karena mengandung
penjelasan tentang perbedaan pandangan
antara kaum yang mulhid dengan yang bukan
mulhid.
Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa
Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran
tentang keimanan kepada Allah, para rasul-
Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya,
hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi
pengajarannya dalam karya ini membicarakan
butir-butir akidah, sejalan dengan paham
Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya
Asy'ariah-Sanusiah).
Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman;
berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan
terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah
Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan
pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman;
berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan
(syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah
Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad
dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.
Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19
halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang
sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953)
mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu
makrifah (martabat tujuh).
Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa
Melayu). Karya ini mengandung penjelasan
tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam,
haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan
sebagainya.
Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12
halaman; berbahasa Melayu). Karya ini
berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh
dan tentang ruh.
Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang
berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa
Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah
atau martabat tujuh.
Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang
sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud
(keesaan wujud) dengan mengikuti faham
wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul
wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan
oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi
tidak pernah menyatakan bahwa sistem
pemikiran tasawufnya itu merupakan paham
wahdatul wujud.
Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din
al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang
pertama yang menggunakan istilah wahdatul
wujud, hanya saja al-Qunawi tidak
menggunakannya sebagai suatu istilah teknis
yang independen. Selain al-Qunawi, masih
banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul
wujud. Namun tokoh yang paling besar
peranannya dalam mempopulerkan istilah
wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn
Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam
keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.
Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak
pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah
Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin
Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham
wahdatul wujud dapat dikenal dari
pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid
la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti
tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa
kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh
jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi)
dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada
ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.
Sementara bagi salik yang sudah berada pada
tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat
tauhid tersebut dipahami dengan pengertian
bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki)
kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah
berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha),
kalimat tauhid tersebut difahami dengan
pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali
Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat
perbedaan prinsipil antara pemahaman
wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang
benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan
paham wahdatul wujud dari kaum zindiq
penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi,
kedua pihak itu memang nampak sependapat
dalam menetapkan makna kalimat tauhid la
ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah,
sedang wujud segenap alam adalah bersifat
bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya
kedua belah pihak memiliki perbedaan
pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum
panteisme yang zindiq alias sesat, mereka
memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak
ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi
bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam
adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah
wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari
segi penampakannya).
Jadi para penganut paham panteisme itu
mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka
menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam
kejamakan alam tanpa membedakan antara
martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham
demikian menurut Syamsuddin Sumatrani
adalah paham yang batil dan ditolak oleh para
penganut tauhid yang benar.
Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana
faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud
berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki
wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam
atau segala sesuatu selain Tuhan
keberadaannya adalah karena diwujudkan
(maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari
segi keberadaannya dengan dirinya sendiri,
alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika
dilihat dari segi “keberadaannya karena
wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu
ada (maujud).
Dengan demikian martabat Tuhan sangat
berbeda dengan martabat alam. Hal ini
diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat
tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh
martabatnya. Tulisnya:
I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya
martabat wujud Allah itu tujuh martabat;
pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat
wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat
martabat alam arwah, kelima martabat alam
mitsal, keenam martabt alam ajsam dan
ketujuh martabat alam insan.
Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala,
martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu
bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama
sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat)
insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita
sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala,
maka alam arwah martabat (hakikat) segala
nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat)
segala rupa, maka alam ajsam itu martabat
(hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu
martabat (hakikat) segala manusia. Adapun
martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah
itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah,
alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu
martabat anniyyat al-makhluk.
Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan
ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang
disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya
adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang
terhadap empat martabat berikutnya yang
disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka
yang dimaksudkannya adalah wujud aktual
makhluk.
Dengan demikian, tiga martabat pertama
adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan
baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat
martabat berikutnya disebut muhdats (yang
dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah
‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat
pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat
martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah
dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak
lain dari tiga martabat pertama, sedang
martabat alam atau makhluk mengacu pada
empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam.

sumber Sufinews

Selasa, 17 Januari 2012

Nasehat Syaih Bahauddin Annaqsabandy

Mengamalkan tareqat berarti berkekalan di
dalam melaksanakan ‘ubudiyyah kepada Allah,
secara zahir dan batin, dengan kesempurnaan
komitmen (iltizam) mengikuti as-Sunnah, dan
menjauhkan segala bid’ah dan segala
kelonggaran (rukhsah), pada setiap gerak dan
diam.
Jalan kita ialah dengan menuruti jejak langkah
baginda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat. Aku telah dibawakan
ke jalan ini melalui Pintu Kurnia, karena dari
permulaan jalan hingga ke akhirnya, tiada yang
aku lihat melainkan pengaruniaan-
pengaruniaan dari Allah.
Di dalam tarekat ini, pintu-pintu kepada ilmu-
ilmu langit akan dibukakan kepada as-Salikin
yang teguh menuruti jejak langkah Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti as-
Asunnah adalah cara yang paling utama untuk
membuka pintu-pintu ini.
Orang-orang ahli hikmah mempunyai tiga cara
untuk mencapai Kebenaran (al-haqiqah), iaitu
melalui muraqabah, musyahadah dan
muhasabah.Muraqabah itu ialah tidak melihat
makhluk karena seseorang itu senantiasa sibuk
melihat Sang Pencipta makhluk. Maksud
musyahadah ialah memandang kecemerlangan
nur yang diterima di dalam hati. Dan maksud
muhasabah ialah tidak mengizinkan segala
ahwal yang telah diperoleh, menjadi batu
penghalang bagi mencapai maqam-maqam yang
lebih tinggi.
Para ahlullah itu tidak pernah merasa kagum
dengan amalan-amalan mereka. Mereka
sentiasa beramal demi cinta kepadaNya.
Siapa yang mengambil daripada tangan kami,
dan menuruti jejak langkah kami, dan
mencintai kami, apakah dia itu dekat ataupun
jauh, berada di Timur atau di Barat, maka akan
kami minumkan dia dari Sungai Kecintaan, dan
akan kami berikan dia cahaya pada setiap hari.
Jalan kita ialah melalui pergaulan yang baik.
Mengutamakan diri bisa mengakibatkan
seseorang itu menjadi masyhur dan ini ada
bahaya. Kebaikan terletak di dalam bersahabat.
Siapa yang mengikuti jalan ini akan
memperolehi banyak manfaat dan barakah
melalui pertemuan-pertemuan yang ikhlash
dan yang benar.
Siapa jua yang menziarahi kami tanpa
memperolehi faedah yang mereka perlukan
dibanding kami, sebenarnya, tiadalah mereka
menziarahi kami. Mereka tidak akan merasa
berpuas hati. Siapa yang mempunyai keinginan
untuk berkata-kata dengan kami, kami tidak
akan mendengar apa-apa. Dan siapa pula yang
ingin mendengar daripada kami, kami tidak
mempunyai apa-apa untuk diperdengarkan.
Siapa yang menerima apa yang diberikan tanpa
menganggapnya remeh, akan diberikan
tambahan. Siapa pula yang tidak dapat
menerima apa yang telah diberikan di sini,
tidak akan berupaya menerima apa-apa pun, di
mana-mana pun jua tempatnya.
Ingatkah engkau kepada kisah seorang manusia
yang meminta dirham (duit perak), tetapi dia
telah diberikan dinar (duit emas), karena tidak
ada dirham untuk diberikan kepadanya? Dia
telah berkata, “Apalah gunanya benda ini?
Aku tidak boleh membelanjakannya. Ini bukan
dirham!”.
Dari satu segi, setiap Insan Kamil itu adalah
sama. Ini berarti yang apabila si murid sudah
benar-benar sealiran dengan usaha tarekat
ini, dia boleh berkomuniksai dengan para
masayaikh terdahulu, sebagaimana mereka
sendiri sering berkomuniksai sesama sendiri,
menempuh jarak masa dan tempat.
Tugas-tugas dan amalan-amalan sebuah
tarekat membentuk satu unit. Kebenaran, cara
mengajar dan para murid, membentuk rupa
satu tangan, yang tidak dapat dilihat oleh si
jahil. Karena dia hanya melihat ketidaksamaan
jari-jari, dia tidak dapat melihat kepada
pergerakan padu dari tangan itu (yakni
pergerakan tangan sebagai satu entitas,
sebenarnya terjadi dari pergerakan bersaingan
tetapi berpadu dari jari-jari tangan itu).

smbr SufiNews

Syaih Zarruq

Syeikh Zarruq Ulama Sufi yang
Cemerlang dari Fes
Namanya Abul Abbas Ahmad bin Ahmad bin
Muhammad bin Isa. Ia bernasab dengan kabilah
Baranis dari Fes, Marokko, yang kemudian
dinasabkan dengan Al-Burnusy. Panggilannya
adalah Zarruq, dipanggil demikian karena
kakeknya bermata biru.
Syeikh Zarruq dilahirkan hari Kamis ketika
matahari terbit, 28 Muharram tahun 846 H,
atau 1442 Masehi. Demikian disebutkan oleh
Ummul Banin, seorang perempuan ahli fiqih
yang shalihah, nenek dari Syeikh Zarruq.
Setelah dua hari lahir, ia ditinggal wafat oleh
ibundanya, di hari sabtu, dimana usia ibundanya
waktu itu 23 tahun. Setelah itu ganti
ayahandanya wafat, ketika usia jabang bayinya
masih 5 hari. Usia ayahandanya 35 tahun.
Kata Syeikh Zarruq, ayahandanya memberi
nama Muhammad, lalu sepeninggal ayahandanya
oleh neneknya digannti dengan Ahmad. Hingga
Allah memadukan dua nama mulia pada dirinya.
"Aku memilih nama Ahmad karena tiga alasan,"
Syeikh Zarruq:
Pertama, saya senang dengan nama itu,
disamping aku dibesarkan di pangkuan nenekku.
Nenek seorang yang penuh kasih sayang,
seorang yang sangat alim dan shalihah.
Kedua, nama itu begitu kuat, tidak berubah,
bahkan tetap dengan nama itu sepanjang tahun.
Ketiga, nama ahmad adalah nama yang
dikabargembirakan oleh Allah kepada Nabi Isa
as, dan tidak pernah disebutkan sebelum Nabi
dan Rasul sebelum Nabi kita Muhammad saw.
Masa Kecil
Masa kecil Syeikh Zarruq sebagai yatim piyatu,
berada di pangkuan neneknya, seorang faqih
yang shalihah, tumbuh dengan pendidikan yang
sangat bagus, penuh kecerdasan dan perilaku
budi luhur. Sejak kecil ditanamkan iman, dan
kesalehan, terutama dalam disiplin sholat.
"Nenek mengajariku sholat, dan
memerintahkannya ketika usiaku masih 5
tahun. Sejak usia lima tahun aku disiplinkan
sholatku, dan aku belajar menulis di usia itu.
Nenek juga mengajariku tauhid dan tawakkal,
keimanan dan keagamaan dengan cara yang luar
biasa."
Salah satu yang menakjubkan, yang diceritakan
beliau, "Ketika aku masuk di sebuah
perpustakaan, seorang faqih menulis surat
Alamnasyroh di telapak tangan kananku, dengan
tinta dari madu, lalu aku menjilatinya. Pada
saat itulah aku menjadi anak yang paling bagus
hafalannya…. Bahkan aku tidak tahu, kalau aku
tak pernah sekalipun menghafal wahyu sama
sekali, kecuali hanya sehari atau dua hari
saja…"
Masa kecilku tidak pernah bermain-main di
masjid, dan tidak pernah aku berlari-lari di
dalamnya, kecuali satu hari seumur hidupku.
Lantas saat itu jempolku bengkak, keluar ulat
kecil dan bernanah. Aku baru tahu kemudian,
Sunnatullah berjalan, bahwa setiap aku berbuat
salah, langsung diganjar dengan akibatnya
seketika. Aku sakit empat kali di Mesir ini.
Setiap kali sakitku sampai empat bulan baru
sembuh, dan setiap aku sakit tidak sembuh
kecuali setelah makan buah Zaitun Hitam.."
Ketika usia beliau genap 9 tahun, ia dikirim
untuk belajar konveksi, tiga hari selama
seminggu, Kamis, Jum'at dan Senin. Ini
dibelajarkan agar terpadu antara pengetahuan
industri dan agama.
Mendalami Agama
Syeikh Zarruq bercerita, "Berada dalam
didikan nenekku yang faqih, Ummul Banin,
hingga usiaku 10 tahun. Pada saat yang sama
aku sudah hafal Al-Qur'an, dan aku belajar
jahit menjahit. Maka ketika usiaku 16 tahun,
aku dikirim untuk mendalami ilmu agama. Aku
mengkaji kitab Ar-Risalah pada dua Syeikh,
As-Sitththy dan Abdullah al-Fakhkhar.,
dengan kajian yang dalam. Kemudian mendalami
soal macam-macam Qira’at pada Al-Qawry,
az-Zarhuny, orang yang sangat saleh. Juga
pada Al-Majashy, dan Al-Ustadz Asy-Saghir
mengenai bacaan huruf ala Nafi'.
Kamudian aku dalami pengetahuan Tasawuf dan
Tauhid, antara lain Ar-Risalatul Qudsiyah dan
Aqaid ath-Thousy, pada Syeikh Abdurrahman
Al-Majdulisy salah satu murid al-Ubay. Juga
sebagian kajian At-Tanwir (karya Ibnu
Athaillah) pen.) pada Al-Qowry, dari beliau
pula saya belajar Al-Bukhary. Kemudian
belajar fiqih pada Abdul Haq ash-Shughra, dan
Jami at-Tirmidzy. Tak terhingga guru-guru
fiqih maupun tasawufku."
Kelak Syeikh Zarruq dikenal sebagai Mursyid
Thariqah Syadziliyah, dan mensyarahi karya
Ibnu Athaillah as-Sakandary, Al-Hikam.
Diantara keunikan Syarah Syeikh Zarruq,
ketika beliau mensyarahi Al-Hikam sampai
terulang 17 kali. Setiap kali khatam membuat
syarah kitab Al-Hikam selalu hilang, atau
dicuri orang. Dan syarah yang masih utuh
hingga sekarang adalah syarah Al-Hikam yang
ke 17.
Setiap satu syarah yang lalu maupun yang kali
berikutnya selalu berbeda. Itulah misteri Kitab
Al-Hikam.
Murid-muridnya
Diantara para Ulama besar yang menjadi murid
Syeikh Zarruq antara lain: Syeikh Ahmad al-
Manjur, w. 955 h. Syeikh Sams al-Luqqany, w.
935 h. Syeikh Muhammad bin Abdurrahman al-
Hatthab, w. 945 h. Syeikh Zein Thohir Al-
Qisthiny, w. 899. Syeikh Abdul Wahab az-
Zaqqaq, w.961 h. Abu Abdullah Muhammad bin
Abu Jum'ah al-Hibthy, w. 930 h. Abdurrahman
Al-Qinthary as-Sifyany al-Hibthy, 956 h.
Syeikh Abu Abdullah Muhammad bin Ali Al-
Khorruby ath-Tharablusy, w. 963 h.
Muhammad Abul Fadhal Kharuf al-Anshary
at-Tunisy w. 966 h, Abul Hasan Al-Bakry,
seorang pendiri Thariqat Al-bakriyah. Dan
masih banyak lagi yang tak bisa disebut disini.
Karya-karyanya
Begitu banyak karya Syeikh Zarruq, terutama
dalam bidang Tasawwuf, antara lain:
Syarah Hizib Bahrnya Asy-Syadzily
Syarah Aqaidul Ghazaly
Risalah (sebuah surat panjang yang ditujukan
kepada para pengikut Thariqah Zarruqiyah
Syadziliyah)
Kumpulan ucapan-ucapannya
Syarah Qasidah Nuniyah
Syarah Hizbul Kabir
Kitabus Shina'ah
Risalah Fis Tasawuf
Ushuluth Thariqoh
Nadzmu Fushulis Saamy
Nadzmu 'Uyubin Nafs
Qawaidut Tasawwuf wa Ushulihi
I'anatul Mutawajih al-Miskin ala Thariqah al-
Fath wat-Tamkin
Qashidah Tsaniyah fil Hats alal 'Uzlah
Adzdzarruy Syariah fi Ushulit Thariqah
Tambih Dzawil Himam 'ala Ma'aanil Alfaadzil
Hikam
As-Silsilah az-Zarruqiyah
Kitabul Jami' Lijumalil Fawaid wal-Manafi'
Al-Mawahibus Saniyah fi Khowashi Nadhzri
Asmail Husna (Ad-Dimyathiyah), Syarah
ringkasan Ad-Dimyathy.
Al-Maqshadul Asmaa bidzikri Himmaty maa
Yataallaqu bijumlatil Asma
Mukhtashar Alal Muqaddimah Alwaghlisiyah
Khanah Ibnu Yusuf
Syarh Mukaddimah al-Quthubiyah
At-Thariqah az-Zaruqiyah
Syarhun Nashihah Al-Kafiyah liman Khashshau
bil 'afiyah
Risalah fil Wa'dzi
Khawashu Asmail Husna
Ad-Durratul Bahiyah
Syarah ala Matnir Risalah
Ta'sis Qawaidul wal Ushul
Risalah fi Ahwaliz Zaman
Fathu Maqamil Asma fi Ba'dh Maa Yataallaqu bil
Asma
Syahul Hikamil Athaiyah
Al-Burdah asy-Syarifah fil Kalam 'ala Ushulit
Thoriqoh
Syarhi Mabahitsil Ashliyah fi Thoriqoh as-
Shufiyah
Ahkamul Hajj
Rusalah Shufiyah
Beliau wafat hari ke 18 bulan Safar tahun 899
h/1493 M, pada usia 54 tahun, meninggal di
Misrathah wilayah Tharablus ibukota Libia, dan
makamnya sangat terkenal disana.

Biografi Pangeran Sufi Al Junaid Al Bagdadi

Dalam kitab Tadzkiratul Auliya, Syeikh
Fariduddin ‘Aththar menjelaskan, bahwa
Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad
al-Zujaj (Junayd al-Baghdadi) adalah putera
dari seorang pedagang barang pecah belah
(kaca) dari Nahawand dan keponakan Sarri as-
Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi.
Beliau lahir dan besar di Irak.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan tokoh paling
terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak
beliau mendapat gelar sebagai Sayyidush
Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi).
Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang
menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme
ortodoks dalam Islam.
Ia menjelaskan teori-teorinya dalam
pengajaran-pengajarannya, serta dalam
serangkaian suratnya yang hingga kini masih
ada, yang ditujukan kepada sejumlah tokoh
pada masanya.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan pemimpin
sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh.
Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti
dalam mazhab Abu Tsaur, murid Imam
Syafi’i.
Al-Junayd wafat di Baghdad pada hari Sabtu
tahun 297H/910M.
Masa Kecil Junayd al-Baghdadi
Sejak kecil, Junayd telah memiliki kedalaman
spiritual, telah menjadi seorang pencari Tuhan
yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin,
bijaksana, cepat mengerti dan memiliki intiusi
yang tajam.
Suatu hari, ia pulang ke rumah dari sekolah. Ia
menemukan ayahnya tengah menangis.
“Ayah, apa yang terjadi?” Tanya Junayd.
“Ayah ingin memberikan sedekah kepada
pamanmu, Sarri,” tutur sang ayah. “Namun
ia tidak mau menerimanya. Ayah menangis
karena ayah telah mencurahkan seluruh hidup
ayah untuk dapat menyisihkan uang lima dirham
ini, namun ternyata uang ini tidak memenuhi
syarat untuk dapat diterima oleh salah seorang
sahabat Allah.”
“Berikan uang itu kepadaku dan aku akan
memberikannya kepada paman Sarri. Dengan
begitu, ia mungkin mau menerimanya,” kata
Junayd.
Sang ayah memberikan uang itu kepadanya, lalu
Junayd pun pergi. Sesampainya di rumah
pamannya, Junayd mengetuk pintu.
“Siapa itu?” terdengar suara dari dalam
rumah.
“Junayd,” jawab sang bocah. “Buka pintu
dan terimalah tawaran sedekah ini.
“Aku tidak menerimanya,” pekik Sarri.
“Aku mohon, terimalah ini, demi Allah Yang
telah begitu dermawan padamu dan telah
bagitu adil pada ayahku,” pekik Junayd.
“Junayd, apa maksudmu Allah begitu
dermawan kepadaku dan begitu adil kepada
ayahmu?” Tanya Sarri.
Junayd manjawab, “Allah begitu dermawan
padamu karena Dia menganugerahimu
kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah
telah begitu adil dengan menyibukkannya
dengan urusan-urusan dunia. Engkau memiliki
kebebasan untuk menerima atau menolak
sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka
atau tidak, harus menyampaikan sedekah yang
dititipkan Allah padanya kepada orang yang
berhak.”
Jawaban Junayd ini menyenangkan hati Sarri.
“Anakku, sebelum aku menerima sedekah ini,
aku telah lebih dulu menerimamu,” ujar
Sarri.
Setelah berkata begiru, Sarri membuka pintu
dan menerima sedekah itu. Ia menempatkan
Junayd di tempat yang istimewa dalam hatinya.
Junayd baru berusia tujuh tahun saat Sarri
mengajaknya berhaji. Di Masjidil Haram,
masalah syukur tengah dibahas oleh empat
ratus syeikh. Masing-masing syeikh
mengemukakan pandangannya.
“Utarakanlah pendapatmu,” kata Sarri pada
Junayd.
Junayd berkata, “Syukur berarti engkau tidak
bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan
karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu,
juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai
sumber ketidak-taatan pada-Nya.
“Bagus sekali, benar-benar merupakan
pelipur lara bagi para Mukmin sejati,” pekik
para syeikh itu.
Keempat ratus syeikh itu sepakat, bahwa tidak
ada definisi syukur yang lebih baik daripada
apa yang telah dikatakan oleh Junayd.
“Anakku,” ujar Sarri, “segera tiba
saatnya, lidahmu menjadi sebuah karunia
istimewa dari Allah untukmu.”
Junayd menangis tatkala
mendengan pamannnya berkata begitu.
“Darimana engkau belajar?” tanya Sarri.
“Dari duduk bersamamu,” jawab Junayd.
Junayd lalu kembali ke Baghdad dan menjadi
penjual barang pecah belah. Setiap hari ia
pergi ke tokonya, menutup tirai toko, lalu
mendirikan shalat empat ratus rakaat.
Selang bebenapa lama, Ia akan meninggalkan
tokonya dan pergi kesebuah ruangan di serambi
rumah Sarri. Disana ia menyibukkan diri
dengan penjagaan hati. Ia menghamparkan
“sajadah wara’”, sehingga tak ada
sesuatu pun yang terlintas di pikiran selain
Allah.
Junayd Menunjukkan Bukti
Selama empat puluh tahun, Junayd sibuk
menekuni latihan sufi. Selama tiga puluh tahun,
ia mendirikan salat malam, lalu berdiri dan
mengulang-ulang lafadz ‘Allah’ hingga
fajar, kemudian ia mendirikan shalat subuh
dengan wudlu yang ia lakukan pada malam
sebelumnya.
Ia berkata, “Setelah empat puluh tahun
berlalu, kesombongan merasuki diriku; aku
merasa telah mencapai tujuanku. Tiba-tiba
sebuah suara terdengar dari langit berbicara
padaku, “Junayd, telah tiba saatnya bagi-Ku
untuk memperlihatkan padamu ikatan korset
bagimu.”
Ketika aku mendengar kata-kata ini, aku pun
berseru, “Ya Allah, dosa apa yang telah
dilakukan oleh Junayd?”
Suara itu menjawab, “Untuk apa engkau
tanyakan itu? Apakah engkau ingin mencari-
cari dosa yang lebih menyedihkan daripada apa
yang engkau perbuat?” Junayd menghela
napas panjang dan menundukkan kepalanya.
Ia berbisik, “Ia, yang tidak cukup berharga
untuk penyatuan, segala perbuatan baiknya
adalah dosa.”
Ia, terus duduk di dalam kamarnya sambil
memekik “Allah... Allah...” sepanjang malam.
Lidah-lidah panjang para pemfitnah
menyerangnya dan tingkah lakunya dilaporkan
kepada Khalifah.
“Ia tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata
sang Khalifah.
Mereka (Para pemfitnah menyatakan, “Banyak
orang tergoda oleh kata-katanya.”
Sang Khalifah mempunyai seorang budak wanita
yang kecantikannya tak ada duanya. Sang
Khalifah sangat mencintainya, ia membeli budak
wanita itu seharga tiga ribu dinar. Sang
Khalifah memerintahkan
agar budak wanita itu didandani dengan pakaian
bagus dan perhiasan-perhiasan mahal.
Sang Khalifah memberikan instruksi kepada
budak wanita itu, “Pergilah ke suatu tempat.
Berdirilah di dekat Junayd dan perlihatkan
wajahmu. Biarkan ia melihat perhiasan dan
pakaianmu. Katakan padanya, ‘Aku memiliki
harta benda yang berlimpah namun hatiku telah
lelah dengan urusan-urusan duniawi. Aku
datang ke sini untuk memintamu melamarku,
agar dengan bimbinganmu aku dapat
mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya.
Hatiku tidak menemukan ketenangan kecuali
dalam dirimu.’ Pertontonkan dirimu padanya.
Perlihatkan kecantikanmu, dan berusahalah
sekuat tenaga untuk membujuknya.”
Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan
ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu
mendekati dan menjalankan apa-apa yang
telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja,
Junayd memandang budak wanita itu. Junayd
tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita
itu mengulangi ceritanya. Junayd menundukkan
kepalanya, lalu ia mendongak.
“Ah,” serunya sambil menghembuskan
napasnya ke arah budak wanita itu. Seketika
budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati.
Pelayan yang menemaninya kembali menemui
Khalifah dan melaporkan apa yang telah
terjadi. Jiwa sang Khalifah serasa terbakar
dan ia bertobat atas yang telah ia lakukan.
Sang Khalifah berkata, “Ia, yang
memperlakukan orang lain tidak sebagaimana
mestinya, melihat apa yang harusnya tidak ia
lihat.”
Sang Khalifah kemudian bangkit dan
memerintah pembantunya untuk memanggil
Junayd. “Sungguh seseorang yang tak dapat
dipanggil untuk menghadap,” komentarnya.
Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana
engkau tega membunuh seseorang yang begitu
cantik?”
Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin,
kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin
begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin
meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku
yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan
diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah
melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi
dirimu sendiri!”
Setelah peristiwa itu, urusan-urusan Junayd
berjalan dengan baik. Kemasyhurannya
tersebar keseluruh penjuru dunia. Seberapapun
seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat
seribu kali lipat.
Ia mulai berkhotbah. Suatu kali ia menjelaskan,
“Aku tidak berkhotbah di muka umum sampai
tiga puluh wali besar mengatakan padaku
bahwa aku telah pantas untuk menyeru
manusia kepada Allah.”
Ia berkata, “Selama empat puluh tahun aku
duduk menjaga hatiku. Kemudian selama
sepuluh tahun hatiku menjagaku. Kini telah
genap duapuluh tahun dimana aku tidak
mengetahui apa pun tentang hatiku dan hatiku
pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”
Ia melanjutkan, “Selama tiga puluh tahun,
Allah berbicara kepada Junayd dengan lidah
Junayd, Junayd tidak berada disana sama
sekali, namun manusia tidak mengetahuinya.”
Junayd Berkhotbah
Saat lidah Junaid telah mahir mengutarakan
kata-kata yang menakjubkan, Sarri as-
Saqathi mengatakan kepadanya bahwa telah
wajib, baginya untuk berkhotbah dimuka umum.
Awalnya Junaid merasa ragu, tidak ingin
melakukan hal itu. “Saat ada sang guru, tak
pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” kata
Junaid mengutarakan keberatannya.
Sampai akhirnya pada suatu malam, Junayd
bertemu dengan Nabi Saw. Dalam mimpinya.
“Berkhotbahlah,” kata Nabi Saw.
Keesokan paginya pada suatu malam, Junaid pun
bangkit dan hendak pergi menemui Sarri untuk
menceritakan mimpinya. Namun, ketika hendak
keluar, ia menemukan Sarri tengah berdiri
didepan pintu.
Sarri berkata, “Sampai saat ini, engkau
masih ragu-ragu, menunggu orang-orang lain
memintamu untuk berkhotbah. Kini engakau
harus bicara (berkhotbah di muka umum),
karena kata-katamu telah dijadikan sarana
bagi keselamatan seluruh dunia.”
Engkau tidak mau bicara saat para murid
membujukmu untuk bicara. Engkau tidak mau
bicara saat para syeikh kota Baghdad
memintamu untuk bicara. Engkau juga tidak
mau bicara kendati aku telah mendesakmu
untuk bicara. Sekarang, Nabi Saw. Telah
memerintahkanmu untuk bicara, maka engkau
harus bicara.”
“Ya Allah, maafkanlah hamba,” tutur Junaid
“Paman, bagaimana engkau tahu kalau aku
bertemu dengan Nabi Saw dalam mimpiku?”
Sarri menjelaskan, “Aku bertemu dengan
Allah dalam mimpiku. Dia berkata, ‘Aku telah
mengutus Rasul-Ku untuk meminta Junayd
berkhotbah di atas mimbar’.”
“Kalau begitu, aku akan berkhotbah,” kata
Junaid kemudian. “Namun dengan satu syarat,
yang hadir tidak lebih dari empat puluh
orang.”
Suatu hari, Junayd berkhotbah di hadapan
empatpuluh orang hadirin. Delapan belas orang
di antaranya meninggal dunia dan duapuluh dua
orang lainnya jatuh ketanah tak sadarkan diri.
Mereka kemudian diangkat dan dibawa pulang
ke rumah mereka masing-masing.
Dilain hari, Junayd berkhotbah. Diantara hadirin
ada seorang pemuda Kristen, namun tak ada
seorang pun yang mengetahui bahwa pemuda
itu beragama Nasrani.
Pemuda itu mendekati Junayd dan berkata,
“Nabi bersabda, ‘berhati-hatilah terhadap
pengetahuan orang yang beriman, kanena ia
melihat dengan cahaya Tuhan’.”
Junayd menjawab, “Yang benar adalah engkau
harus menjadi seorang Muslim dan memotong
korset Nasranimu, kanena ini adalah acara
khusus bagi Muslim.”
Seketika itu Pula pemuda tadi menjadi seorang
Muslim.
Setelah Junayd berkhotbah beberapa kali,
masyarakat menyuarakan penentangannya.
Akhinnya Junayd pun berhenti berkhotbah dan
kemudian kembali ke kamarnya. Ia didesak
untuk terus berkhotbah namun ia menolak.
“Sudah cukup,” katanya. “Aku tidak dapat
mengusahakan kehancuranku sendiri.”
Beberapa waktu kemudian, Junayd naik ke
mimbar dan mulai berkhotbah tanpa
pemberitahuan sebelumnya.
“Kebijaksanaan apa yang terdapat di dalam
apa yang engkau perbuat ini?” ia ditanya.
Junayd menjawab, “Aku menemukan sebuah
hadist di mana Nabi Saw. bersabda, ‘Pada
akhir zaman, yang menjadi juru bicara suatu
masyarakat adalah orang yang terburuk di
antara mereka. Ia akan berkata pada mereka,
Aku tahu bahwa aku adalah orang yang
terburuk di antara kalian. Aku berkhotbah
karena apa yang telah disabdakan oleh Nabi
Saw. Dengan begitu, aku tidak menentang
kata-kata beliau.”
Al-Jurairy mengabarkan, “Aku baru saja
pulang dan Mekkah, dan hal pertama yang
kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar
tidak mengangan-angan diriku. Aku Ialu
memberi salam kepadanya dan pulang ke
rumah. Keesokan harinya ketika aku shalat
subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada
shaf di belakangku. Aku berkata, ‘Aku
mendatangimu kemarin hanya supaya engkau
tidak mengharap harap diriku.’ Ia menjawab,
‘Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu’.”

Smbr SufiNews