Minggu, 20 November 2011

Perilaku Manusia Dalam Dzikir Tauhid

Ibnu Athaillah As Sakandary
Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam
bertauhid dan berdzikir :
Kelompok pertama, adalah kalangan umum,
yaitu kalangan pemula. Maka tauhidnya adalah
bersifat lisan (oratif) belaka, baik dalam
ungkapan, wacana, akidahnya,
dan keikhlasan, melalui Cahaya Syahadat
Tauhid, " Laa Ilaaha Illallah Muhamadur
Rasululullah". Ini diklasifikasikan tahap Islam.
Kelompok kedua, kalangan Khusus Menengah,
yaitu Tauhid Qalbu, baik dalam apresiasi,
kinerja qalbu maupun akidah, serta
keikhlasannya. Inilah disebut tahap Iman.
Khususul Khusus, yaitu Tauhidnya akal, baik
melalui pandangan nyata, yaqin dan penyaksian
(musyahadah) kepadaNya. Inilah Tahap
Ihsan.
Maqomat Dzikir
Dzikir mempunyai tiga tahap (maqomat) :
Dzikir melalui Lisan : Yaitu dzikir bagi
umumnya makhluk.
Dzikir melalui Qalbu : Yaitu dzikir bagi
kalangan khusus dari orang beriman.
Dzikir melalui Ruh: Yaitu dzikir bagai kalangan
lebih khusus, yakni dzikirnya kaum 'arifin
melalui fana'nya atas dzikirnya sendiri dan
lebih menyaksikan pada Yang Maha Didzikiri
serta anugerahnya apada mereka.
Perilaku Dzikir "Allah"
Bagi pendzikir Ismul Mufrad "Allah" ada tiga
kondisi ruhani:
Pertama: Kondisi remuk redam dan fana'.
Kedua: Kondisi hidup dan baqo'.
Ketiga: Kondisi nikmat dan ridlo.
Kondisi pertama: Remuk redam dan
fana'Yaitu dzikir orang yang membatasi pada
dzikir "Allah" saja, bukan Asma-asma lain,
yang secara khusus dilakukan pada awal mula
penempuhan. Ismul Mufrod tersebut dijadikan
sebagai munajatnya, lalu mengokohkan
manifestasi "Haa' di dalamnya ketika berdzikir.
Siapa yang mendawamkan (melanggengkannya)
maka nuansa lahiriyahnya terfana'kan dan
batinnya terhanguskan. Secara lahiriyah ia
seperti orang gila, akalnya terhanguskan dan
remuk redam, tak satu pun diterima oleh
orang. Manusia menghindarinya bahkan ia pun
menghindar dari manusia, demi kokohnya
remuk redam dirinya sebagai pakaian
lahiriahnya. Rahasia Asma "Allah" inilah yang
hanya disebut. Bila menyebutkan sifat Uluhiyah,
maka tak satu pun manusia mampu
menyifatinya. Ia tidak menetapi suatu tempat,
yang bisa berhubungan dengan jiwa seseorang,
walau di tengah khalayak publik, sebagaimana
firman Allah swt :
"Tidak ada lagi pertalian nasab diantara
mereka di hari itu dan tidak ada pula saling
bertanya." (Al-Mu'minun: 101)
Sedangkan kondisi batinnya seperti mayat yang
fana, karena dzat dan sifatnya diam belaka.
Diam pula dari segala kecondongan dirinya
maupun kebiasaan sehari-harinya, disamping
anggota tubuhnya lunglai, hatinya yang tunduk
dan khusyu'.
Sebagaimana firmanNya :
"Sesungguhnya Kami akan menurunkan
kepadamu perkataan yang berat." (Al-
Muzammil: 5)
"Dan kamu lihat bumi ini kering, dan apabila
telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah, dan menumbuhkan
berbagai macam tumbuh-tumjbuhan yang
indah." (Al-Hajj : 5)
Kondisi kedua: Dari kondisi hidup dan abadi
(baqo'), yaitu manakala orang yang berdzikir
dengan Ismul Mufrod "Allah" tadi mencapai
hakikatnya, kokoh dan melunakkan dirinya,
maka simbol-simbilnya dan sifat-sifatnya
terhanguskan.
Allah meniupkan Ruh Ridlo setelah "kematian
ikhtiar dan hasrat kehendaknya". Ia telah fana'
dari hasrat kebiasaan diri dan syahwatnya, dan
telah keluar dari sifat-sifat tercelanya, lalu
berpindah (transformasi) dari kondisi remuk
redam nan fana' menuju kondisi hidup dan
baqo'. Kondisi tersebut menimbulkan nuansa
kharismatik dan kehebatan dalam semesta,
dimana segalanya takut, mengagungkan dan
metrasa hina dihadapan hamba itu bahkan
semesta meraih berkah kehadirannya.
Kondisi ketiga: Kondisi Nikmat dan Ridlo,
maka bagi orang yang mendzikirkan "Allah"
pada kondisi ini senantiasa mengagungkan apa
pun perintah Allah swt, jiwanya dipenuhi rasa
kasih sayang terhadap sesame makhluk Allah
Ta'ala, tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam
mengajak manusia menuju agama Allah swt.
Dari jiwanya terhampar luas bersama Allah
swt, hanya bagi Allah swt.
Rahmat Allah swt meliputi keleluasaannya, dan
tak satu pun makhluk mempengaruhinya,
bahkan atak ada sesuatu yang tersisa kecuali
melalui jalan izin Allah swt. Ia telah berpindah
dari kondisi ruhani hidup dan baqo', menuju
kondisi nikmat dan ridlo, hidup dengan
kehidupan yang penuh limpahan nikmat
selamanya, mulia, segar dan penuh ridloNya.
Tak sedikit pun ada kekeruhan maupun
perubahan. Selamat, lurus dan mandiri dalam
kondisi ruhaninya, aman dan tenteram.
Sebegitu kokohnya, ia bagaikan hujan deras
yang menyirami kegersangan makhluk, dimana
pun ia berada, maka tumbuhlah dan suburlah
jiwa-jiwa makhluk karenanya. Hingga ia raih
kenikmatan dan ridlo bersama Allah Ta'ala, dan
Allah pun meridloinya. Allah swt berfirman :
"Kemudian Kami bangkitkan dalam kehidupan
makhluk (berbentuk) lain, maka Maha Berkah
Allah sebagai Sebagus-bagus Pencipta" (Al-
Mu'minun: 14)[pagebreak]
Suatu hari seorang Sufi sedang berada di
tengah majlisnya Asy-Syibly, tiba-tiba
berteriak, "Allah!"
Asy-Syibly menimpali, "Apa-apaan ini! Kalau
kamu memang jujur, maka kamu masyhur (di
langit), jika kamu dusta, kamu benar-benar
hancur!".
Seorang lelaki juga berteriak di hadapan Abul
Qasim al-Junayd ra, dan Al-Junayd
berkomentar, "Saudaraku Bila yang anda sebut
itu menyaksikanmu dan anda pun hadir
bersamaNya, berarti engkau telah mengoyak
tirai dan kehormatan, dan mendapatkan
kecemburuan aroma pecinta yang diberikan.
Namun jika anda mengingatNya, sedangkan
anda ghaib dariNya, maka menyebut yang ghaib
(tidak hadir) berarti menggunjing. Padahal
menggunjing itu haram."
Dikisahkan dari Abul Hasan ats-Tasury ra,
ketika beliau berada di rumahnya selama tujuh
hari tidak makan dan tidak minum serta tidak
tidur, ia tetap terus menerus menyebut
Allah…Allah…
Kisah ini disampaikan kepada Al-Junayd atas
tingkah lakunya itu.
"Apakah dia menjaga kewajiban waktunya?"
Tanya al-Junayd.
"Dia tetap sholat tetap pada waktunya."
"Alhamdulillah, Allah yang menjagaNya, dan
tidak memberikan jalan kepada syetan
padanya." Kata al-Junayd.
Kemudian al-Junayd berkata kepada para
santri-santrinya, "Ayo kalian semua berdiri
dan mendatanginya, mungkin kita bias memberi
manfaat padanya atau sebaliknya kita
mengambil faedah darinya."
Ketika al-Junayd masuk di hadapannya, al-
Junayd berkata, "Wahai Abul Hasan, apakah
ucapanmu Allah..Allah..itu bersama Allah
(Billah) atau bersama dirimu sendiri? Bila
engkau mengucapkan bersama Allah, maka
bukan andalah yang mengucapkannya. Karena
Dialah yang berkalam melalui lisan hambaNya.
Sang Pendzikir adalah diriNya bersama
DiriNya. Namun bila yang menyebut tadi adalah
dirimu bersama dirimu, sedangkan anda juga
bersama dirimu sendiri, maka apalah artinya
remuk redam."
"Engkaulah sebaik-baik sang pendidik wahai
Ustadz," kata Ats-Tsaury. Dan rasa gelisah
remuk redamnya tiba-tiba hilang.
Dan aku remuk redam bersamamu karena
mengenangmu
Dan benar atas kebaikan yang melimpah dengan
kenangnanmu
Dan fana bersasmamu penuh keasyikan.
Siapa yang tak pernah merindu pada cinta
Asmara yang mengalahkan akalnya
Demi umurku sungguh ia celaka.
Tak ada dzikir melainkan tenggelam sirna
dengan dzikirnya dari merasa berdzikir
Hanya kepada Yang Diingatlah yang terkenang
Dalam fana dan pertemuan
Siapa yang masih ada akalnya, ia tak akan
pernah berdzikir
Siapa yang hilang dari dzikir, maka benarlah ia
telah membubung kepadaNya
Dzikir itu sendiri merupakan pembersihan dari
kealpaan dan kelupaan, melalui pelanggengan
hadirnya qalbu dan keikhlasan dzikir lisan,
disertai memandangNya, dariNya. Sang Tuanlah
yang mengalurkan ucapan dzikir melalui lisan
hambaNya.
Dikatakan, Dzikir adalah keluar dari medan
kealpaan menuju padang musyahadah
(penyaksian kepadaNya).
Hakikat dzikir adalah mengkonsentrasikan Yang
didzikir, dengan sirrnya si pendzikir dari
dzikirnya, dan fananya si pendzikir dalam
musayahadah dan kehadiran jiwa, sehingga ia
tidak terhilangkan dirinya melalui musyahadah
kepadaNya di dalam musyahadahnya. Maka si
pendzikir menyaksikan Allah bersama Allah,
sehingga Allahlah Yang Berdzikir dan Yang
Didzikir.
Maka dari segi kemudahan dariNya untuk si
hamba, dan keleluasaan untuk berdzikir melalui
lisannya, maka Dialah Yang Berdzikir
kepadahambaNya, lalu segala yang disebutnya
adalah dariNya.
Dari segi intuisi awal yang dating dariNya,
maka Dialah Yang Berdzikir pada DiriNya
melalui lisan hambaNya. Sebagaimana riwayat
hadits shahih disebutkan, bahwa Allah Ta'ala
berfirman: "Akulah pendengaran yang
dengannya ia mendengar, dan Akulah
penghlihatan yang dengannya ia melihat, dan
Akulah lisannya yang dengannya ia bicara."
Dalam riwayat lain juga disebutkan, "Maka
Akulah pendengaran, penglihatan, lisan, tangan
dan penguat baginya."

sumber: sufinews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar