Kamis, 26 Januari 2012

Ulama Karismatik KH. Muhammad Dimyati

KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan
Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis.
Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat
Syadziliyah dan melahirkan banyak santri
berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya.
Nama lengkapnya
Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad
Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat
kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar
hingga mancanegara.
Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa,
dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak
kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya
didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti
melihat warna-warni dunia sufistik.
Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru
sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol.
Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi
masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah
Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan.
Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi
bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru
pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal
Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang,
Banten tidak pernah sepi dari para tamu
maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat
rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa
hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai
gurunya dari para guru dan kiainya dari para
kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga
sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati
dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja
mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga
menjalankan kehidupan dengan pendekatan
tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut
tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah
mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di
seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri.
Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak
pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan
Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang
namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki
seperti ini karena tiap dinding dari tempat
pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di
tempat ini pula Abuya Dimyati menerima
tamu-tamu penting seperti pejabat
pemerintah maupun para petinggi negeri.
Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya
untuk pengajian sehari-hari semenjak
kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah
sejak kecil memang sudah menampakan
kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau
belajar dari satu pesantren ke pesantren
seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng
Pandeglang. Kemudian ke pesantren di
Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di
tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim,
Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad
Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol,
Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin
Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat
Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua
guru-guru beliau bermuara pada Syech
Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai
sepuh tersebut adalah memiliki kriteria
kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah
Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai
sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah
diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu
kisah unik ketika Abuya datang pertama ke
Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar
kepada santri-santri besok akan datang
‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai
saat masih mondok di Watucongol sampai di
tempat beliau mondok lainya, hingga sampai
Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan
mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare,
Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah
Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di
setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada
peningkatan santri mengaji.
Jalan Spritual
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya
Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik.
Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari
pesantren yang satu ke pesantren yang lain
selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan
mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para
santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet
karena tidak hanya mampu mengajar kitab
tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat.
Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan
semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust,
diwani, diwani jally, naskhy dan lain
sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam
ilmu membaca al Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah
kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa
Tengah pernah berucap bahwa belum pernah
seorang kiai yang ibadahnya luar biasa.
Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak
pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6
pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah
istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung
mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat
ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian
wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi
hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan
qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika
bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem.
Ketika bertemu dengannya, Abuya malah
disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin
mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai
akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab,
“Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai
pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon
diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun
menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah
termaktub dalam kitab, begitu pula dengan
selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya
tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah
sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan
selawat.” Jawaban tersebut justru membuat
Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian
kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi.
Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya
untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan
solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya
Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian
diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Dipenjara Dan Mbah Dalhar
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang
sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai
karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada
zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya
sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam
penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat
berbeda prinsip dengan pemerintah ketika
terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh
menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun
dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun
empat bulan kemudian Abuya keluar dari
penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya
Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa.
Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib
nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan
Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul
Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat
perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr
isinya menguraikan tentang hidzib Nasr.
Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya
yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.
Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam
Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat
yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah
didalamnya membahas tentang tarekat
Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik
seputar Abuya dan pertemuannya dengan para
kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen
Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget.
Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak
pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai
Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil
Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh
datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya
begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau
mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun
berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa
disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada
pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan
mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik
sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu
yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab
karangan mbah-mbahmu. Karena kitab
tersebut masih perlu diperjelas dan sangat
sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati
menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk
mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi?
Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa
yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai
Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau
sampeyan mau tetap di sini, saya mohon
ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-
santri yang ada di sini dan sampeyan jangan
punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi
ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi
meninggalkan kita semua. Abuya Dimyati tak
akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3
Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar
pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga
Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang
ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH.
Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu,
Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78
tahun.

sumber SufiNews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar