Kamis, 26 Januari 2012

Uwais Al-Qarani

Meraup Hikmah Sang Nafas ar-
Rahmandari dari Yaman
Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan
penting dalam biografi mistikal nabi.
“Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-
Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih,
mengalir
kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi
SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam
tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka
yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh
sang guru yang hidup. Para sufi yang mengaku
dirinya telah menempuh jalan tanpa
pemba’iatan formal kemudian disebut dengan
istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung
oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah
ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius,
Khidhir.
Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir
al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa
terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan
beliau dilahirkan. Ia kilahirkan oleh keluarga
yang taat beribadah. Ia tidak pernah
mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang
tuanya yang sangat ditaatinya. Untuk
membantu meringankan beban orang tuanya, ia
bekerja sebagai penggembala dan pemelihara
ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya
ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya
dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh
karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan
orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik
ternak dan sesamanya, para penggembala.
Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang
dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap
harinya ia lalui dengan berlapar-lapar ria. Ia
hanya makan buah kurma dan minum air putih,
dan tidak pernah memakan makan yang dimasak
atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan
betul derita orang-orang kecil disekitarnya.
Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian,
rasa takutnya kepada Allah mendorongnya
untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah,
janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang
mati karena kelaparan, dan jangan Engaku
menyiksaku karena ada yang kedinginan.”
Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga
termanifestasi dalam kecintaannya dan
ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada
kedua orang tuanya, sangat luar biasa. Di siang
hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia
asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan
lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan
bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun
ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu
berada bersama Tuhan, dalam pengabdian
kepada-Nya.
Rasulullah saw menuturkan keistimewaan
Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali
bahwa dihari kiamat nanti, disaat semua orang
dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan
syafaat kepada sejumlah besar umatnya,
sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah
dan Mudhar (keduanya dikenal karena
mempunyai domba yang banyak). Karena itu,
Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua
agar menemuinya, menyampaikan salam dari
Rasulullah, dan meminta keduanya untuk
mendoakan keduanya, yang digambarkan
bahhwa Uwais memiliki tinggi badan yang
sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda
putih sebesar dirham pada bahu kiri dan
telapak tangannya.
Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk
menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu
penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais.
Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan
rombongan orang-orng Yaman, ia selalu
berusaha mencaru tahu dimana keberadaan
Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun,
keduanya selalu gagal mendapatkan informasi
tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat
menjadi khalifah, informasi tentang Uwais
keduanya perolih dari serombongan orang
Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan
tidak brgaul dengan masyarakat. Ia tidak
makan apa yang dimakan oleh kebanyakan
orang, dan tidak tampak susan atau senang.
Ketika orang-orang tersenyum ia menangis,
dan ketika orang-orang menangis ia
tersenyum”. Demikian kata rombongan
orang-orang Yaman tersebut. Mendengar
cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan
Ali segera berangkat menuju tempat yang
ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi.
Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di
suatu tempat terpencul. Abi Naim al-Afshani
menuturkan dialog yang kemudian terjadi
antara Umar dan Ali dengan Uwai al-Qarani
sebagai berikut:
Umar : Apa yang anda kerjakan disini ?
Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala
Umar : Siapa nama Anda?
Uwais : Aku adalah hamba Allah
Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan
tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda
lebih dekat lagi
Uwais : Silahkan saja.
Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan,
andalah orang yang pernah diceritakan oleh
Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan
berilah kami nasehat agar kami beroleh
kebahagiaan dunia dan di akherat kelak.
Uwais : Saya tidak pernah mendoakan
seseorang secara khusus. Setiap hari saya
selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas
siapa sebenarnya anda berdua.
Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul
Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib.
Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk
menemui anda dan menyampaikan salam beliau
untuk anda.
Umar : Berilah kami nasehat wahai hamba
Allah
Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan
ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada
Allah.
Umar :Terimakasih atas nasehat anda yang
sangat berharga ini. Sebagai tanda terima
kasih kami, kami berharap anda mau menerima
seperangkat pakaian dan uang untuk anda
pakai.
Uwais : Terimakasih wahai Amirul mu’minin.
Saya sama sekali tidak bermaksud menolak
pemberian tuan, tetapi saya tidak
membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah
yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah
lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada
ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah
kurma dan minum air putih, dan tidak pernah
makan makan yang di masak. Kurasa hidupku
tidak akan sampai petang hari dan kalau
petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi
hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat
kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya.
Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui
keduduka spiritualnya yang demikian tinggi di
mata Rasulullah saw, mereka kemudian
berusaha untuk menemui dan memuliakannya.
Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup
penuh dengan kesunyian ini, diam-diam
meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah,
melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih
untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas
untuk yang selain Dia. Tentu saja,
“kesunyian” disini tidak identik dengan
kesendirian (pengasingan diri). Hakekat
kesendirian ini terletak pada kecintaanya
kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan,
tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia
hidup ditengah-tengah keramaian. Alaisa
Allah-u bi Kafin abdahu?
Setelah seorang sufi bernama Harim bin
Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah
tadak menemukannya di Qaran. Kemudian ia
menuju Basrah. Di tengah perjalanan menuju
Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang
mengenakan jubah berbulu domba sedang
berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais
beranjak naik menuju tepian sungai sambil
merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan
memberi salam kepadanya.
Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”,
wahai Harim bin Hayyan.
Harim terkejut ketika Uwais menyebut
namanya.
“Bagaimana engakau mengetahui nama saya
Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Roku
telah mengenal rohmmu”, demikian jawan
Uwais.
Uwais : kemudian menasehati Harim untuk
selalu menjaga hatinya. Dalam arti
mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan
kepada-Nya melalui mujahadah, atau
mengarahkan diri “dirinya “ untuk
mendengar dan mentaati kata hatinya.
Meski Uwais menjalani hidupnya dalam
kesendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-
saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam
kegiatan jihad untuk membela dan
mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi
perang Shiffin antara golongan Ali melawan
Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat
orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut
dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari
pembebasan tersebut, Uwais terserang
penyakit dan meninggal saat itu juga. (t.39 H).
Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani,
kemudian hri namanya banyak di puji oleh
masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya
dalam satu sajak syairnya :
Kawan tercinta kekasih Allah;
Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani.
Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan
haram
Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani
Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja,
Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam
Allah;
Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-
unta
Di tanah Yaman, Uwais alQarani
Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “,
negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang
dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang
Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan
membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-
Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi
sebelumnya yang mendatangkan keharuman
yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada
ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah
menjadi simbul dari Timur yang penuh dengan
cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang
dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah
keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah
kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani
yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu
dengan nabi. Hikmah Yamaniyyah,
“Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah
Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan,
sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan
intelektual, sebagaimana Timur dan Barat.
Doa dan Dzikir
Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri
Uwais al-Qarani, kemudian menjadi landasan
dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya
yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya
dan sikap zuhudnya, adalah doa dan dzikirnya.
Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk
seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh
umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah
lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk
bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-
ternaknya.
Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang
yang tidak dapat dipisahkan. Hakekatnya adalah
satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk
dari dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia
tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku,
maka Aku akan mengaruniakan kepadanya
sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang
yang berdoa kepada-Ku”.
Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin.
Doa untuk kaum muslim adalah salah satu
bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap
“urusan kaum muslim”. Rasulullah saw.
Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa
yang tidap peduli dengan urusan kaum muslim,
maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal
ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa
permohonan yang paling cepat dikabulkan
adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa
sepengetahuan orang yang didoakan dan
mendahulukan doa untuk selain dirinya. Dan
Uwais lebih memilih untuk medoakan seluruh
saudaranya seiman.
Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah
malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra,
sedang khusu’ berdoa. Hasan yang pensasaran
ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam
doanya berusaha untuk menguping. Namun
Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal
hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta
pengampunan dan kebahagian hidup untuk
seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat
kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya
kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali
tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri.
Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahwa
apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan
hidup kaum muslim, hakekatnya, permohonan
itu akan kembali kepada kita. Sebab para
malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan
berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua
kali lipat.”
Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian
menarik suatu prinsip yang lebih umum yang
padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan.
Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus
kita berikan kepad orang lain. Jika kebajikan
yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan,
berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi
para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku
seseorang adalah gema dari pelaku yang lain.
Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia
akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia
akan datang dari orang lain. Itulah gemanya.
Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan
itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus
kali lipat dibanding yang kita berikan.
Demikianlah, berdoa untuk kaum mulim akan
bergema di dalam diri yang tentu saja akan
berdampak besar dan positif dalam membangun
dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual
seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus
ego di dalam diri yang merupakan musuh
terbesar, juga sekalihgus akan melahirkan dan
menanamkan komitmen dalam diri “rasa
Cinta”dan “prasangka baik”terhadap
mereka, yang merupakan pilar lain dari ajaran
sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian
kepada Allah swt.
Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir,
mengingat dan mnyebut-nyebut nama Allah
meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang
ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang
umum mencakup ucapan segala macam
ketaatan kepada Allah swt. Namun yang
dilakukan Uwais disini adlah berdzikir dengan
menyebut nama-nama Allah dan meningat
Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah. Ibn
Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan
berbagai macam faedah dzikir dalm kitabnya
“al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-
thayyib” menyebutkan bahwa yang paling
utama pada setiap orang yang bramal adalah
yang paling banyak berdzikir kepad Allah swt.
Ahli shaum yang paling utama adalah yang
paling banyak dzikirnya; pemberi sedekah yang
paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya;
ahli haji yang paling utama adalah yang paling
banyak berdzikir kepada Allah swt; dan
seterusnya, yang mencakup segala aktifitas
dan keadaan.
Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-
Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya
suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik
nama itu, sebeb nama itu mengandung kesan
sipemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi
rahasianya dan maknanya. Berdzikir dan
mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik
kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi
akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh
yang sangat besar. Al-Ghazali menyatakan
bahwa yang diperoleh seorang hamba dari
nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan), yang
berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan
dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya
hanyalah Dia. Dan hal ini, dalam pandangan Ibn
Arabi, berarti sang hamba tersebut menyerap
nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan
ontologis. Demikianlah, setiap kali kita
menyerap asma Allah lewat dzikir kepada-
Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita
mengalami tranformasi. Yanag apada akhirnya
akan membuahkan akhlak al-karimah yang
merupakan tujuan pengutusan rasulullah
Muhammad saw.
Dilihat dari sudut panang psikologis sufistik,
pertama-tama dzikir akan memberi kesan
pada ruh seseorang, membentuknya membangun
berbagai kualitas kebaikan, dan kekuatan
inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama
itu. Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi
semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang
kemudian mekanisme ini berkembang pada
pengulangan nama-nama secara otomatis. Jadi
jika seseorang telah mengilang dzikirnya
selama satu jam, misalnya, maka sepanjang
siang dan malam dzikir tersebut akan terus
berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi
terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga
akan terefleksi pada ruh semesta, dan
mekanisme universal kemudian mengulanginya
secara otomatis. Dengan kata lain, apa yang
didzikirkan manusia dengan menyebutnya
berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai
mengulanginya, hingga termaterialisasi dan
menjadi suatu realita di semua tingkat
eksistensi. Wallahu a’lam bis-shawab.

Sumber SufiNews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar