Rabu, 25 Januari 2012

Syaih Syamsudin Sumatrani

Sufi Legendaris dari Nangroe Aceh
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-
satunya daerah yang aksentuasi keislamannya
paling menonjol. Selain menonjolnya warna
keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di
sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah
tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal
Samsuddin Sumatrani.
Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh
sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan
corak esoteris pada wajah Islam di Aceh.
Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit
sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini
selain karena tidak ditemukannya catatan
otobiografisnya, juga karena langkanya
sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.
Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr.
Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian
untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan
langkanya sumber-sumber mengenai tokoh
sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang
dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin
Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan
kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak
memotret perjalanan hidupnya secara terinci.
Meski demikian, dari serpihan-serpihan data
historis yang terbatas itu kiranya cukuplah
bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran
akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.
Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara
pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal
sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di
belakang namanya, itu merupakan penisbahan
dirinya kepada “negeri Sumatra” alias
Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan
Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri
sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni
Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga
adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.
Menurut para sejarawan, penisbahan namanya
dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai
mengisyaratkan adanya dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah
orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka
bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan
dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di
Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang
ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama
bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan
dikuburkan di sana.
Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai
pusat pengajaran dan pengembangan Islam,
Negeri Pasai itu memang lebih dahulu
terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak
Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada
kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum
akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada
tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk
kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh
Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.
Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil
(1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah
menjadi orang kepercayaan sultan Aceh.
Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri
tidak disingkapkan bagaimana perjalanan
Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi
ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan
istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat
dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039
H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa
terakhir dari masa hidupnya ia merupakan
tokoh agama terkemuka yang dihormati dan
disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan
berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan
Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat
ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh
serta berperan besar dalam sejarah
pembentukan dan pengembangan intelektualitas
keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan
beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat
ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?),
Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin
Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel
(1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya
hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan
ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung
seperlunya.
Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan
Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy
cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani
sebagai murid dari Hamzah Fansuri.
Pandangannya ini diperkuat dengan
ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin
Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah)
terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua
karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah
Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah
Syair Ikan Tongkol.
Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-
Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti.
Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah
Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri
memperoleh kedudukan seperti sebelumnya
diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat
menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada
tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena
fatwanya yang men-zindiq-kan
(mengkafirkan) paham wahdatul wujud
Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani
dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman
bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka
miliki dibakar habis. Namun demikian, para
pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak
punah semuanya.
Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan
dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh
Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir,
Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul
Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian
mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada
Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang
Minang yang juga penganut paham wahdatul
wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali
ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India.
Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin
Sumatrani itu kembali mewarnai corak
keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.
Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan
diketahui adanya sejumlah karya tulis yang
dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari
karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani,
atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani
yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya
tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian
lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya
tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai
berikut:
Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa
Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap
yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze.
Kitab ini menyajikan pengajaran tentang
martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa
al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman;
berbahasa Arab). Karya yang telah disunting
oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif
singkat, cukup penting karena mengandung
penjelasan tentang perbedaan pandangan
antara kaum yang mulhid dengan yang bukan
mulhid.
Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa
Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran
tentang keimanan kepada Allah, para rasul-
Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya,
hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi
pengajarannya dalam karya ini membicarakan
butir-butir akidah, sejalan dengan paham
Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya
Asy'ariah-Sanusiah).
Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman;
berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan
terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah
Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan
pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman;
berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan
(syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah
Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad
dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.
Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19
halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang
sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953)
mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu
makrifah (martabat tujuh).
Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa
Melayu). Karya ini mengandung penjelasan
tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam,
haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan
sebagainya.
Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12
halaman; berbahasa Melayu). Karya ini
berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh
dan tentang ruh.
Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang
berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa
Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah
atau martabat tujuh.
Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang
sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud
(keesaan wujud) dengan mengikuti faham
wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul
wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan
oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi
tidak pernah menyatakan bahwa sistem
pemikiran tasawufnya itu merupakan paham
wahdatul wujud.
Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din
al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang
pertama yang menggunakan istilah wahdatul
wujud, hanya saja al-Qunawi tidak
menggunakannya sebagai suatu istilah teknis
yang independen. Selain al-Qunawi, masih
banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul
wujud. Namun tokoh yang paling besar
peranannya dalam mempopulerkan istilah
wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn
Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam
keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.
Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak
pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah
Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin
Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham
wahdatul wujud dapat dikenal dari
pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid
la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti
tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa
kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh
jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi)
dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada
ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.
Sementara bagi salik yang sudah berada pada
tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat
tauhid tersebut dipahami dengan pengertian
bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki)
kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah
berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha),
kalimat tauhid tersebut difahami dengan
pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali
Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat
perbedaan prinsipil antara pemahaman
wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang
benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan
paham wahdatul wujud dari kaum zindiq
penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi,
kedua pihak itu memang nampak sependapat
dalam menetapkan makna kalimat tauhid la
ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah,
sedang wujud segenap alam adalah bersifat
bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya
kedua belah pihak memiliki perbedaan
pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum
panteisme yang zindiq alias sesat, mereka
memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak
ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi
bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam
adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah
wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari
segi penampakannya).
Jadi para penganut paham panteisme itu
mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka
menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam
kejamakan alam tanpa membedakan antara
martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham
demikian menurut Syamsuddin Sumatrani
adalah paham yang batil dan ditolak oleh para
penganut tauhid yang benar.
Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana
faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud
berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki
wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam
atau segala sesuatu selain Tuhan
keberadaannya adalah karena diwujudkan
(maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari
segi keberadaannya dengan dirinya sendiri,
alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika
dilihat dari segi “keberadaannya karena
wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu
ada (maujud).
Dengan demikian martabat Tuhan sangat
berbeda dengan martabat alam. Hal ini
diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat
tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh
martabatnya. Tulisnya:
I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya
martabat wujud Allah itu tujuh martabat;
pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat
wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat
martabat alam arwah, kelima martabat alam
mitsal, keenam martabt alam ajsam dan
ketujuh martabat alam insan.
Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala,
martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu
bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama
sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat)
insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita
sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala,
maka alam arwah martabat (hakikat) segala
nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat)
segala rupa, maka alam ajsam itu martabat
(hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu
martabat (hakikat) segala manusia. Adapun
martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah
itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah,
alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu
martabat anniyyat al-makhluk.
Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan
ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang
disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya
adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang
terhadap empat martabat berikutnya yang
disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka
yang dimaksudkannya adalah wujud aktual
makhluk.
Dengan demikian, tiga martabat pertama
adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan
baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat
martabat berikutnya disebut muhdats (yang
dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah
‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat
pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat
martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah
dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak
lain dari tiga martabat pertama, sedang
martabat alam atau makhluk mengacu pada
empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam.

sumber Sufinews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar