Selasa, 17 Januari 2012

Biografi Pangeran Sufi Al Junaid Al Bagdadi

Dalam kitab Tadzkiratul Auliya, Syeikh
Fariduddin ‘Aththar menjelaskan, bahwa
Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad
al-Zujaj (Junayd al-Baghdadi) adalah putera
dari seorang pedagang barang pecah belah
(kaca) dari Nahawand dan keponakan Sarri as-
Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi.
Beliau lahir dan besar di Irak.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan tokoh paling
terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak
beliau mendapat gelar sebagai Sayyidush
Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi).
Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang
menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme
ortodoks dalam Islam.
Ia menjelaskan teori-teorinya dalam
pengajaran-pengajarannya, serta dalam
serangkaian suratnya yang hingga kini masih
ada, yang ditujukan kepada sejumlah tokoh
pada masanya.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan pemimpin
sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh.
Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti
dalam mazhab Abu Tsaur, murid Imam
Syafi’i.
Al-Junayd wafat di Baghdad pada hari Sabtu
tahun 297H/910M.
Masa Kecil Junayd al-Baghdadi
Sejak kecil, Junayd telah memiliki kedalaman
spiritual, telah menjadi seorang pencari Tuhan
yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin,
bijaksana, cepat mengerti dan memiliki intiusi
yang tajam.
Suatu hari, ia pulang ke rumah dari sekolah. Ia
menemukan ayahnya tengah menangis.
“Ayah, apa yang terjadi?” Tanya Junayd.
“Ayah ingin memberikan sedekah kepada
pamanmu, Sarri,” tutur sang ayah. “Namun
ia tidak mau menerimanya. Ayah menangis
karena ayah telah mencurahkan seluruh hidup
ayah untuk dapat menyisihkan uang lima dirham
ini, namun ternyata uang ini tidak memenuhi
syarat untuk dapat diterima oleh salah seorang
sahabat Allah.”
“Berikan uang itu kepadaku dan aku akan
memberikannya kepada paman Sarri. Dengan
begitu, ia mungkin mau menerimanya,” kata
Junayd.
Sang ayah memberikan uang itu kepadanya, lalu
Junayd pun pergi. Sesampainya di rumah
pamannya, Junayd mengetuk pintu.
“Siapa itu?” terdengar suara dari dalam
rumah.
“Junayd,” jawab sang bocah. “Buka pintu
dan terimalah tawaran sedekah ini.
“Aku tidak menerimanya,” pekik Sarri.
“Aku mohon, terimalah ini, demi Allah Yang
telah begitu dermawan padamu dan telah
bagitu adil pada ayahku,” pekik Junayd.
“Junayd, apa maksudmu Allah begitu
dermawan kepadaku dan begitu adil kepada
ayahmu?” Tanya Sarri.
Junayd manjawab, “Allah begitu dermawan
padamu karena Dia menganugerahimu
kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah
telah begitu adil dengan menyibukkannya
dengan urusan-urusan dunia. Engkau memiliki
kebebasan untuk menerima atau menolak
sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka
atau tidak, harus menyampaikan sedekah yang
dititipkan Allah padanya kepada orang yang
berhak.”
Jawaban Junayd ini menyenangkan hati Sarri.
“Anakku, sebelum aku menerima sedekah ini,
aku telah lebih dulu menerimamu,” ujar
Sarri.
Setelah berkata begiru, Sarri membuka pintu
dan menerima sedekah itu. Ia menempatkan
Junayd di tempat yang istimewa dalam hatinya.
Junayd baru berusia tujuh tahun saat Sarri
mengajaknya berhaji. Di Masjidil Haram,
masalah syukur tengah dibahas oleh empat
ratus syeikh. Masing-masing syeikh
mengemukakan pandangannya.
“Utarakanlah pendapatmu,” kata Sarri pada
Junayd.
Junayd berkata, “Syukur berarti engkau tidak
bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan
karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu,
juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai
sumber ketidak-taatan pada-Nya.
“Bagus sekali, benar-benar merupakan
pelipur lara bagi para Mukmin sejati,” pekik
para syeikh itu.
Keempat ratus syeikh itu sepakat, bahwa tidak
ada definisi syukur yang lebih baik daripada
apa yang telah dikatakan oleh Junayd.
“Anakku,” ujar Sarri, “segera tiba
saatnya, lidahmu menjadi sebuah karunia
istimewa dari Allah untukmu.”
Junayd menangis tatkala
mendengan pamannnya berkata begitu.
“Darimana engkau belajar?” tanya Sarri.
“Dari duduk bersamamu,” jawab Junayd.
Junayd lalu kembali ke Baghdad dan menjadi
penjual barang pecah belah. Setiap hari ia
pergi ke tokonya, menutup tirai toko, lalu
mendirikan shalat empat ratus rakaat.
Selang bebenapa lama, Ia akan meninggalkan
tokonya dan pergi kesebuah ruangan di serambi
rumah Sarri. Disana ia menyibukkan diri
dengan penjagaan hati. Ia menghamparkan
“sajadah wara’”, sehingga tak ada
sesuatu pun yang terlintas di pikiran selain
Allah.
Junayd Menunjukkan Bukti
Selama empat puluh tahun, Junayd sibuk
menekuni latihan sufi. Selama tiga puluh tahun,
ia mendirikan salat malam, lalu berdiri dan
mengulang-ulang lafadz ‘Allah’ hingga
fajar, kemudian ia mendirikan shalat subuh
dengan wudlu yang ia lakukan pada malam
sebelumnya.
Ia berkata, “Setelah empat puluh tahun
berlalu, kesombongan merasuki diriku; aku
merasa telah mencapai tujuanku. Tiba-tiba
sebuah suara terdengar dari langit berbicara
padaku, “Junayd, telah tiba saatnya bagi-Ku
untuk memperlihatkan padamu ikatan korset
bagimu.”
Ketika aku mendengar kata-kata ini, aku pun
berseru, “Ya Allah, dosa apa yang telah
dilakukan oleh Junayd?”
Suara itu menjawab, “Untuk apa engkau
tanyakan itu? Apakah engkau ingin mencari-
cari dosa yang lebih menyedihkan daripada apa
yang engkau perbuat?” Junayd menghela
napas panjang dan menundukkan kepalanya.
Ia berbisik, “Ia, yang tidak cukup berharga
untuk penyatuan, segala perbuatan baiknya
adalah dosa.”
Ia, terus duduk di dalam kamarnya sambil
memekik “Allah... Allah...” sepanjang malam.
Lidah-lidah panjang para pemfitnah
menyerangnya dan tingkah lakunya dilaporkan
kepada Khalifah.
“Ia tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata
sang Khalifah.
Mereka (Para pemfitnah menyatakan, “Banyak
orang tergoda oleh kata-katanya.”
Sang Khalifah mempunyai seorang budak wanita
yang kecantikannya tak ada duanya. Sang
Khalifah sangat mencintainya, ia membeli budak
wanita itu seharga tiga ribu dinar. Sang
Khalifah memerintahkan
agar budak wanita itu didandani dengan pakaian
bagus dan perhiasan-perhiasan mahal.
Sang Khalifah memberikan instruksi kepada
budak wanita itu, “Pergilah ke suatu tempat.
Berdirilah di dekat Junayd dan perlihatkan
wajahmu. Biarkan ia melihat perhiasan dan
pakaianmu. Katakan padanya, ‘Aku memiliki
harta benda yang berlimpah namun hatiku telah
lelah dengan urusan-urusan duniawi. Aku
datang ke sini untuk memintamu melamarku,
agar dengan bimbinganmu aku dapat
mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya.
Hatiku tidak menemukan ketenangan kecuali
dalam dirimu.’ Pertontonkan dirimu padanya.
Perlihatkan kecantikanmu, dan berusahalah
sekuat tenaga untuk membujuknya.”
Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan
ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu
mendekati dan menjalankan apa-apa yang
telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja,
Junayd memandang budak wanita itu. Junayd
tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita
itu mengulangi ceritanya. Junayd menundukkan
kepalanya, lalu ia mendongak.
“Ah,” serunya sambil menghembuskan
napasnya ke arah budak wanita itu. Seketika
budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati.
Pelayan yang menemaninya kembali menemui
Khalifah dan melaporkan apa yang telah
terjadi. Jiwa sang Khalifah serasa terbakar
dan ia bertobat atas yang telah ia lakukan.
Sang Khalifah berkata, “Ia, yang
memperlakukan orang lain tidak sebagaimana
mestinya, melihat apa yang harusnya tidak ia
lihat.”
Sang Khalifah kemudian bangkit dan
memerintah pembantunya untuk memanggil
Junayd. “Sungguh seseorang yang tak dapat
dipanggil untuk menghadap,” komentarnya.
Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana
engkau tega membunuh seseorang yang begitu
cantik?”
Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin,
kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin
begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin
meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku
yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan
diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah
melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi
dirimu sendiri!”
Setelah peristiwa itu, urusan-urusan Junayd
berjalan dengan baik. Kemasyhurannya
tersebar keseluruh penjuru dunia. Seberapapun
seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat
seribu kali lipat.
Ia mulai berkhotbah. Suatu kali ia menjelaskan,
“Aku tidak berkhotbah di muka umum sampai
tiga puluh wali besar mengatakan padaku
bahwa aku telah pantas untuk menyeru
manusia kepada Allah.”
Ia berkata, “Selama empat puluh tahun aku
duduk menjaga hatiku. Kemudian selama
sepuluh tahun hatiku menjagaku. Kini telah
genap duapuluh tahun dimana aku tidak
mengetahui apa pun tentang hatiku dan hatiku
pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”
Ia melanjutkan, “Selama tiga puluh tahun,
Allah berbicara kepada Junayd dengan lidah
Junayd, Junayd tidak berada disana sama
sekali, namun manusia tidak mengetahuinya.”
Junayd Berkhotbah
Saat lidah Junaid telah mahir mengutarakan
kata-kata yang menakjubkan, Sarri as-
Saqathi mengatakan kepadanya bahwa telah
wajib, baginya untuk berkhotbah dimuka umum.
Awalnya Junaid merasa ragu, tidak ingin
melakukan hal itu. “Saat ada sang guru, tak
pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” kata
Junaid mengutarakan keberatannya.
Sampai akhirnya pada suatu malam, Junayd
bertemu dengan Nabi Saw. Dalam mimpinya.
“Berkhotbahlah,” kata Nabi Saw.
Keesokan paginya pada suatu malam, Junaid pun
bangkit dan hendak pergi menemui Sarri untuk
menceritakan mimpinya. Namun, ketika hendak
keluar, ia menemukan Sarri tengah berdiri
didepan pintu.
Sarri berkata, “Sampai saat ini, engkau
masih ragu-ragu, menunggu orang-orang lain
memintamu untuk berkhotbah. Kini engakau
harus bicara (berkhotbah di muka umum),
karena kata-katamu telah dijadikan sarana
bagi keselamatan seluruh dunia.”
Engkau tidak mau bicara saat para murid
membujukmu untuk bicara. Engkau tidak mau
bicara saat para syeikh kota Baghdad
memintamu untuk bicara. Engkau juga tidak
mau bicara kendati aku telah mendesakmu
untuk bicara. Sekarang, Nabi Saw. Telah
memerintahkanmu untuk bicara, maka engkau
harus bicara.”
“Ya Allah, maafkanlah hamba,” tutur Junaid
“Paman, bagaimana engkau tahu kalau aku
bertemu dengan Nabi Saw dalam mimpiku?”
Sarri menjelaskan, “Aku bertemu dengan
Allah dalam mimpiku. Dia berkata, ‘Aku telah
mengutus Rasul-Ku untuk meminta Junayd
berkhotbah di atas mimbar’.”
“Kalau begitu, aku akan berkhotbah,” kata
Junaid kemudian. “Namun dengan satu syarat,
yang hadir tidak lebih dari empat puluh
orang.”
Suatu hari, Junayd berkhotbah di hadapan
empatpuluh orang hadirin. Delapan belas orang
di antaranya meninggal dunia dan duapuluh dua
orang lainnya jatuh ketanah tak sadarkan diri.
Mereka kemudian diangkat dan dibawa pulang
ke rumah mereka masing-masing.
Dilain hari, Junayd berkhotbah. Diantara hadirin
ada seorang pemuda Kristen, namun tak ada
seorang pun yang mengetahui bahwa pemuda
itu beragama Nasrani.
Pemuda itu mendekati Junayd dan berkata,
“Nabi bersabda, ‘berhati-hatilah terhadap
pengetahuan orang yang beriman, kanena ia
melihat dengan cahaya Tuhan’.”
Junayd menjawab, “Yang benar adalah engkau
harus menjadi seorang Muslim dan memotong
korset Nasranimu, kanena ini adalah acara
khusus bagi Muslim.”
Seketika itu Pula pemuda tadi menjadi seorang
Muslim.
Setelah Junayd berkhotbah beberapa kali,
masyarakat menyuarakan penentangannya.
Akhinnya Junayd pun berhenti berkhotbah dan
kemudian kembali ke kamarnya. Ia didesak
untuk terus berkhotbah namun ia menolak.
“Sudah cukup,” katanya. “Aku tidak dapat
mengusahakan kehancuranku sendiri.”
Beberapa waktu kemudian, Junayd naik ke
mimbar dan mulai berkhotbah tanpa
pemberitahuan sebelumnya.
“Kebijaksanaan apa yang terdapat di dalam
apa yang engkau perbuat ini?” ia ditanya.
Junayd menjawab, “Aku menemukan sebuah
hadist di mana Nabi Saw. bersabda, ‘Pada
akhir zaman, yang menjadi juru bicara suatu
masyarakat adalah orang yang terburuk di
antara mereka. Ia akan berkata pada mereka,
Aku tahu bahwa aku adalah orang yang
terburuk di antara kalian. Aku berkhotbah
karena apa yang telah disabdakan oleh Nabi
Saw. Dengan begitu, aku tidak menentang
kata-kata beliau.”
Al-Jurairy mengabarkan, “Aku baru saja
pulang dan Mekkah, dan hal pertama yang
kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar
tidak mengangan-angan diriku. Aku Ialu
memberi salam kepadanya dan pulang ke
rumah. Keesokan harinya ketika aku shalat
subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada
shaf di belakangku. Aku berkata, ‘Aku
mendatangimu kemarin hanya supaya engkau
tidak mengharap harap diriku.’ Ia menjawab,
‘Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu’.”

Smbr SufiNews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar