Rabu, 25 Januari 2012

KH. Abdul Hamid

Semua Orang Merasa Paling Disayang
KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di
Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa
Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember;
Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng;
Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian:
pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan ANGIN
bergerak perlahan. Hening. Jam menunjuk pukul
01.00 lebih. Warga Pesantren Salafiyah,
Pasuruan, dan sekitarnya lelap tidur nyenyak.
Krosak! Tiba-tiba suara daun terlanggar batu
menyeruak keheningan. Sejurus kemudian
terdengar lagi suara itu yang kedua dan ketiga
kali. "Faisal, hari sudah malam. Waktunya
tidur," terdengar teguran halus dari arah
belakang pelempar batu itu. Faisal (bukan nama
sebenarnya), santri Salafiyah yang terkenal
badung itu tidak menyahut. Ia yakin, itu suara
anak santri lain yang ingin menggodanya,
dengan meniru suara Kiai Hamid.
Faisal memungut batu lagi dan melempar pohon
mangga di depan rumah pengasuh pesantrennya
itu. "Faisal, hari sudah malam, waktunya
tidur," terdengar suara lembut lagi dari arah
belakang anak yang suka melucu itu. Begitu
lembut, selembut semilir angin tengah malam.
"Sudahlah, kau tak usah usil. Aku tahu siapa
kau," sergah Faisal sambil melempar lagi.
Lagi-lagi lemparannya luput. Ia semakin tidak
sabaran melihat buah mangga yang ranum itu.
"Faisal, hari sudah malam. Ayo tidur, tidur."
Suara itu masih halus, tanpa emosi. "Kurang
ajar," umpat Faisal. Kesabarannya sudah habis.
Ini keterlaluan, pikirnya. Dengan geram, ia
menghampiri arah datangnya suara tersebut.
Entah apa yang ingin dilakukannya terhadap
orang yang dianggapnya meniru seperti Kiai
Hamid itu. Ia tidak dapat segera mengenali,
siapa santri yang berlagak seperti Kiai Hamid
di depan rumah kiai yang sangat disegani itu.
Maklum, semua lampu di teras rumah itu sudah
dipadamkan sejak pukul 21.00. Mendadak
mukanya pucat ketika jarak dengan orang
tersebut tinggal 1-2 meter.
Tubuhnya bergetar demi mengetahui orang yang
telah diumpatinya tadi benar benar Kiai Hamid.
Faisal pun menunduk segan. "Sudah malam, ya.
Sekarang waktunya tidur," ujar Kiai, Hamid,
masih tetap lembut, namun penuh wibawa.
"Inggih (iya)," jawab Faisal pendek, sambil
ngeloyor pergi ke kamarnya. Faisal bukan
satu-satunya santri yang suka mencuri
mangga milik kiai.
Cerita seperti itu sudah menjadi semacam
model khas kenakalan santri di pesantren.
Faisal juga bukan satu-satunya anak santri
Salafiyah yang merasakan kesabaran Kiai
Hamid. Kesabarannya memang diakui tidak
hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga
dan masyarakat serta umat islam yang pernah
mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik
kepada santri maupun kepada anak dan
istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua,
khususnya setelah menikah, sebenarnya
kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.
"Kiai Hamid dulu sangat keras," kata Kiai
Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber
Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa
Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak
ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di
antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12
saudara kandungnya, tinggal dua orang yang
masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem,
dan Halimah. Sedang dari lima saudara
seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu
Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya
di Pasuruan.
Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri.
Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di
Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq,
juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember,
Jawa Timur.
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq,
tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro'is
Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki
keterikatan yang sangat kuat dengan dunia
pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya
yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk
menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula
belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada
umur sembilan tahun, ayahnya mulai
mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai
pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di
pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari,
Jember, Jawa Timur. Konon, demikian
penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid
sangat disayang baik oleh ayah maupun
kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-
tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama
besar.
"Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu
dengan Rasulullah," katanya. Dalam
kepercayaan yang berkembang di kalangan
warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah
walau telah wafat sekali waktu menemui
orang-orang tertentu, khususnya para wali.
Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam
legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid
mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para
ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai
berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren
kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember.
Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk
pergi haji yang pertama kali bersama keluarga,
paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama
kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan,
Rembang. Di desa itu dan desa-desa
sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan
lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke
Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang
kini menggantikannya sebagai pengasuh
Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu
sudah cukup maju untuk ukuran zamannya,
dengan administrasi yang cukup rapi.
Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah
melahirkan banyak ulama terkemuka, antara
lain KH Ali Ma'shum, mantan Ro'is Am NU.”
Menurut Idris, inilah pesantren yang telah
banyak berperan dalam pembentukan bobot
keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar
berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari
pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama
orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya
tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia
mengikuti pengajian Habib Ja'far, ulama besar
di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan
sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH
Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam
anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga
orang yang masih hidup, yaitu H. Nu'man, H.
Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan
berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama
beberapa tahun ia harus hidup bersama
mertuanya di rumah yang jauh dari mewah.
Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia
mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi,
sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata
ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa
Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat
Kotamadya Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan
Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan
orangtuanya selama dua tahun tidak patut
(tidak mau akur). Namun ia menghadapinya
dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas,
telah mengantar mendung di rumah keluarga
muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu
gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak
istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali
lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat
sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab,
meninggal dunia pula, padahal umurnya baru
beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu
membawanya bertamasya ke tempat lain. KH.
Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid,
menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai
Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama
empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan
darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat
menutupinya sehingga tak ada orang lain yang
mengetanuinya. "Uwong tuo kapan ndak digudo
karo anak Utowo keluarga, ndak endang
munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah
mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia
tidak lekas naik derajatnya)", katanya suatu
kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak
merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam
mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak
pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari
ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak
memberikan pendidikan lewat keteladanan.
Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi,
untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat
misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk
bangun pada saat fajar menyingsing, guna
menunaikan shalat subuh, meski seringkali
orang lain yang disuruh membangunkan mereka,
Hamid juga memberi pengajaran membaca al-
Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa
kecil. Namun, begitu mereka menginjak
remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-
anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga
istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya
tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak
pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara
berurutan dari bab satu ke bab berikutnya.
Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu
dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih
banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah
kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah
al-Hidayah karya Imam Ghazali, "Tampaknya
yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan
ilmunya itu sendiri," jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai
Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau
pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan
spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu
tertentu - misainya alat (gramatika bahasa
Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol
sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku
seorang santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya
shalat berjamaah lima waktu. Sementara
jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi
dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi
jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh
santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak
mengajar, kecuali kepada santri-santri
tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu,
khususnya di masa-masa akhir kehidupannya,
ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk
umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap
Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk
mengikuti pengajian selepas salat subuh ini.
Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi
juga kota-kota Malang, Jember, bahkan
Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu
itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-
Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap
pengajian, ia hanya membaca beberapa baris
dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang
ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak
jarang, air matanya mengucur deras ketika
bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid
memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-
Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya 'Ulum ad-
Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak
kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak
dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu
menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau
menumpanginya. Bangunan rumah dan
perabotan-perabotannya cukup baik, meski
tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba
putih. Cara berpakaian maupun penampilannya
selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan
pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang
berkualitas rendah. "Berpakaianlah yang rapi
dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya.
Siapa tahu anggapan itu merupakan doa
bagimu," katanya suatu kali kepada seorang
santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang
yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata
idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid
berniat untuk mengekang nafsunya dengan
tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya
tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti.
Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti
itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya
saja. "O, rupanya dia suka kulit roti," pikir
istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah
yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada
suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa.
"Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku
memakannya kemarin, itu karena aku
bertirakat," ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil
Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di
Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan
halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa,
Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya
sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai
Hamid memang selalu berusaha untuk tidak
mengecewakan orang lain, suatu sikap yang
terbentuk dari ajaran idkhalus surur
(menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan
Nabi.
Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa
sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya
kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa
kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi
undangan, di manapun dan oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur,
sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu
ajaran (yang dipahami secara sederhana)
mengenai kepedulian sosial islam terhadap
kaum dlu'afa yang diwujudkan dalam bentuk
pemberian sedekah. Memang karikaturis -
meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang
sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli
ekonomi yang berpikir secara lebih makro.
Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap
sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi
dari motivasi keagamaan yang "egoistis",
dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan
kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita
mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial
islam itu sudah membentuk tanggung jawab
sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-
mula harus diterapkan kepada keluarga
terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan
seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian
tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga
terdekat yang tidak mampu, konon ia juga
memberikan bantuannya secara rutin,
terutama bila mereka sedang mempunyai hajat,
apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan
anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia
meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga
yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi
uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam
mengajarkan, hari raya merupakan hari di
mana umat Islam dianjurkan bergembira
sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah
puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya,
sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid
tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali
kepada handai tolan dan tetangga terdekat.
Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa
beras dan sarung - untuk tetangga dekat
setiap tahun tergantung yang dipunyainya dari
pemberian orang lain. Tapi yang pasti,
jumlahnya tak pernah kurang dari 313 buah. Ini
adalah jumlah para pengikut perang Badr
(pecah di bulan Ramadhan antara Nabi dan
orang Kafir). Penelusuran lebih jauh akan
menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain
merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat.
Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari
sikap penuh perhatian yang tinggi terhadap
orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas
santri dan adik iparnya, "Semua orang merasa
paling disayang oleh Kiai Hamid." Setiap pagi,
mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki
berkeliling ke Mushalla-mushalla hingga sejauh
1-2 km. untuk membangunkan orang-orang -
biasanya anak-anak muda - yang tidur di
tempat-tempat ibadah itu. Di samping itu,
beberapa rumah tak luput dari perhatiannya
sehingga membuat tuan rumah tergopoh-gopoh
demi mengetahui bahwa orang yang mengetuk
pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid
yang sangat diseganinya. Sikapnya yang
kebapakan itulah yang membuat semua orang
mengenalnya secara dekat merasa kehilangan
ketika ia wafat.
Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan
keluhan dan masalah orang lain, dan terkadang
melalui perlambang-perlambang, memberi
pemecahan terhadapnya. Tak cuma itu. Ia
sering memaksa orang untuk bercerita
mengenai yang menjadi masalahnya. "Ceritakan
kepada saya apa yang membuatmu gundah,"
desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski
telah berkali-kali mengatakan tidak ada apa-
apa. Dan, akhirnya setelah dibimbing ke kamar
di rumahnya, Shobih dengan menangis
menceritakan masalah keluarga yang selama ini
mengganjal di hatinya.
Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita
bahwa ia masih kekurangan uang menghadapi
perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai
Hamid. Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp
200.000. Pemberian uang untuk maksud-
maksud baik ini memang sudah bukan rahasia
lagi. Selain sering dihajikan orang lain, sudah
puluhan pula orang yang telah naik haji atas
biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja.
Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang
telah berdiri atau direnovasi atas prakarsa
serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat,
kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang
ia wafat. Ia memprakarsai renovasi terhadap
beberapa mushalla di dekat rumahnya yang
selama ini tak pernah terjamah perbaikan.
Untuk itu, di samping mengeluarkan uang dari
kantongnya sendiri, ia memberi wewenang
kepada masing-masing panitia untuk
mempergunakan namanya dalam mencari
sumbangan.
Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya
yang dicirikan dengan komitmen Idkhalus surur
dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang
sederhana dengan corak religius yang kuat
merupakan watak kepemimpinannya. Tapi, lebih
dari itu, kepemimpinan yang tidak menonjolkan
diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha
menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif
dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yang
suaranya begitu lirih itu tidak pernah
berpidato di depan umum: Tapi di situlah,
khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan
sebagian besar Jawa Timur yang sudah
terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan
Kiai Hamid.
Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai
tampak selama menuntut ilmu di Pesantren
Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua
kali. Ia lahir dengan nama Mu'thi, lalu berganti
dengan nama Abdul Hamid setelah haji yang
pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya,
KH Ahmad Qusyairi, memanggilnya dengan
Hamid saja. "Nama saya memang Hamid saja,
Bah (Ayah)," katanya, seperti tidak ingin
mengecewakan mertuanya itu. Diantara
karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq,
yaitu menyairkan kitab terkenal di pondok
pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yang
berisi akidah, syari'ah, akhlaq dan tasawuf.
Sedangkan Thariqah beliau adalah Syadziliyah.
Menurut beberapa sumber ada yang
mengatakan mengambil thariqah dari KH.
Mustaqiem Husein, ada sumber lain
menyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.

sumber sufinews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar